Kamis, 26 Juli 2012

Dengan Idul Fitri Kita Rajut Ukhuwah


Dengan Idul Fitri  Kita Rajut Ukhuwah

Hadirin, jama’ah idul fitri yang dimuliakan Allah.

Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji syukur ke haribaan Allah SWT, karena untuk kesekian kalinya kita diberi kekuatan oleh Allah untuk menjalankan ibadah puasa, dan di pagi hari ini kita bertemu dengan idul fitri. Gema takbir, tahmid dan tahlil yang berkumandang menyambut datangnya peristiwa yang mengharu-biru ini.
Bagi umat Islam, Idul fitri merupakan peristiwa spiritual yang tak ternilai harganya. Alangkah bahagia dan gembiranya kita, yang telah sebulan penuh diberi rahmat oleh Allah SWT. Dapat melaksankan puasa dengan baik dan tuntas, kemudian dilanjutkan dengan kewajiban zakat fitrah. Puncak kebahagiaan itu adalah hari raya idul fitri. Itu tidak lain karena kita semua telah kembali kepada posisi fitrah. Yaitu sebuah fase di mana manusia kembali kepada asal kejadiannya. Suci tak bernoda,  laksana bayi yang baru terlahir.
Untuk mencapai kesempurnaan idul fitri, marilah kita saling memaafkan atas dosa yang telah kita perbuat. Menghapus kealpaan yang terlanjur mengemuka. Melenyapkan buruk sangka yang ada. Serta menyingkirkan butir-butir dendam yang menyesakkan dada. Mudah-mudahan dengan itu semua, predikat muttaqin dapat kita raih. Sebagaimana firman Allah SWT:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
(orang muttaqin itu adalah) mereka yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Ali Imran, 134)

Oleh karena itu, Idul fitri bukan sekedar peristiwa shalat dan salam-salaman, yang gampang hilang begitu matahari tenggelam. Hari kemenangan ini menjadi sempurna kalau dijadikan ajang untuk memperbaiki diri, baik kepada Allah maupun kepada sesame. Sehingga momentum idul fitri akan tetap menggaung dalam kehidupan kita sepanjang masa.

Jama’ah shalat Id yang diberkahi Allah SWT
Satu hal penting yang bisa didapat dari idul fitri, yaitu seruan untuk membangun ukhuwah, merajut persaudaraan abadi sebagai tindak lanjut dari salam-salaman dan saling maaf.
Untuk itu, setelah Idul Fitri berlalu, ada beberapa hal yang harus terus dijaga agar ukhuwah yang telah terbangun, kerukunan yang  tercipta pada hari yang fitri ini dapat berjalan sepanjang masa.
Pertama adalah menebar kasih sayang dan perdamaian kepada seluruh ummat.  Firman Allah SWT
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (QS. Al-Hujurat, 10)
Islam sangat menganjurkan agar kelemah-lembutan dan kasih sayang selalu ditebarkan dalam setiap pergaulan. Nabi Muhammad SAW bersabda: 
عن أنس ابن مالك، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:  ليس منا من لم يرحم صغييرنا ويوقر كبيرنا (رواه الترمذي وأحمد)
“Dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak sayang kepada yang lebih muda dari kami dan orang yang tidak hormat kepada yang lebih tua dari kami”.
Ada dua kalimat yang patut menjadi perhatian dari hadits diatas. Pertama adalah yarham atau kasih sayang yang lebih tua kepada generasi muda, dan kedua adalah yuwaqqir atau penghormatan dari anak muda kepada orang tua. Secara redaksional, hadits itu menempatkan kata yarham sebelum yuwaqqir. Ini menunjukkan bahwa yang lebih tua harus lebih dulu memberi contoh kepada yang muda dengan berlaku lembut, kasih sayang, dan sebagainya.
Kasih sayang dan rasa hormat adalah dua hal yang saling terkait. Kasih sayang yang ditunjukkan senior, otomatis akan melahirkan rasa respek bagi si yunior. Dari kasih dan hormat itulah, kerukunan dan kedamaian akan tercipta. 
Ketika yang muda melakukan kesalahan, maka bimbinglah. Bukan dicaci maki atau divonis. Dan manakala yang muda sudah berlaku baik, apalagi berpretasi, maka  tak ada salahnya yang lebih tua memberikan apreasiasi secara proporsional. Bahkan segera memberikan dukungan maksimal sesuai kemampuan yang dimiliki.
Begitu pula yang seharusnya ditunjukkan oleh atasan kepada bawahannya, seorang bos kepada karyawannya, seorang majikan kepada pambantunya. Sebagaimana contoh dari Rasulullah SAW yang tidak pernah sekalipun mengeluarkan kata kasar atau memarahi pelayannya. Sebuah contoh ideal dari seorang pemimpin.
Penghormatan dan penghargaan akan terbangun subur manakala di dalam suatu interaksi terbangun rasa saling percaya. Tidak memiliki fikiran negartif kepada orang lain. Enggan mencari-mencari kesalahan orang lain. Atau menganggap orang lain sebagai lawan, kemudian menjegal sana sini, dengan menghalalkan segala macam cara. Firman Allah SWT:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. (QS. al-Hujurat, 12)
Kita patut prihatin bahwa dewasa ini kasih sayang dan rasa hormat seolah sudah jadi barang langka. Kita hampir tiap hari disuguhi tontotan layar kaca yang menggambarkan perlakuan kasar seorang bapak kepada anaknya, bahkan ada yang sampai hati menjual atau bahkan membunuh darah dagingnya sendiri. Dan tak jarang pula, anak mendurhakai orang tuanya, malah berani menggorok leher ayahnya. Atau pembantu membunuh majikannya sendiri.
Di luar lingkup keluarga, kekerasan juga masih menjadi tontotan harian. Hanya karena persoalan sepele, karena berbeda keyakinan dan organisasi, orang sampai hati menganiaya orang lain yang nota bene sesama muslim.  Di lingkup politik, juga tak kalah hebatnya. Keinginan untuk merebut kekuasaan, kerap kali mengorbankan kerukunan, bahkan hubungan kekerabatan yang telah lama berurat-berakar, tiba-tiba harus terputus. Rasa hormat dan kasih sayang dikubur dalam-dalam demi sebuah ambisi politik.

Jama’ah shalat Id rahimakumullah
Kedua, tidak mengejek, menghujat, atau memaki orang lain, baik dengan sindiran, atau apalagi langsung.
عن علقمة عن عبد الله، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ليس المؤمن بالطعان ولا اللعان ولا الفاحش ولا البذيء (رواه الترمذي)
Dari Alqomah bin Abdillah, Rasulullah SAW bersabda, Bukanlah seorang mukmin, mereka  yang suka memfitnah, suka melaknat, mengeluarkan kata keji dan  kata kotor”
Sebuah ejekan akan menimbulkan efek berantai yang sulit dipadamkan. Orang yang diejek, pasti hatinya terluka, perasaannya teriris. Dari situlah kerap timbul bara  dendam. Selama luka di hati masih menganga, selama itu pula segala cara dilakukan untuk memuntahkan dendam.
Baik atau buruk perbuatan seseorang, bukanlah alasan pembenar untuk mengeluarkan hinaan atau kata kotor kepada yang bersangkutan. Begitu pula perbuatan baik yang kita lakukan kepada seseorang, tidak serta merta dapat menghalalkan kita untuk menghinakan atau menjelek-jelekkan orang tersebut. Firman Allah SWT:
قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ
Perkataan yang baik dan pemberian ma`af lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan sipenerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (QS. al-Baqarah 263)
Dalam konteks ini Luqman al-Hakim pernah berpesan, ”Ingatlah dua perkara dan lupakanlah dua perkara. Perkara yang harus dingat itu adalah Allah SWT dan kematian. Sedangkan dua yang harus dilupakan adalah kebaikan kita kepada orang lain serta kesalahan orang lain kepada kita. ”
Tidak seorangpun berhak untuk memberikan label buruk kepada seseorang. Karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang hina dan penuh dengan kekurangan. Semua adalah kewenangan Allah SWT sebagai Dzat yang Maha Mengetahui serta Maha menghinakan (al-Mudzillu). Tidak menutup kemungkinan orang yang hina atau dihinakan oleh manusia, di hadapan Allah justru lebih baik dibanding orang-orang yang mengejeknya. Allah telah mewanti-wanti dengan firman-Nya:
ياايُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى اَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ 
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengejek atau mengolok-olok kaum yang lain, karena boleh jadi mereka yang diejek lebih baik dari pada yang mengejek...” (al-Hujuraat, 11).
Bisa jadi seseorang yang oleh manusia sudah dicap tidak baik, hina dina dan sebagainya, tapi dalam penilaian Allah dia adalah seorang yang mulya. Sebaliknya, seseorang yang menurut penglihatan manusia sudah begitu hebat karena kaya dan bertitel misalnya, namun menurut Allah boleh jadi dia tidak bermartabat.
Oleh karena itu, Islam senantiasa mengajarkan agar kita selalu mengoreksi diri, mengaca diri agar proses perbaikan diri tidak stagnan. Firman Allah SWT:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan (mengoreksi) apa yang telah diperbuatnya untuk (kebaikan) di hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hasyr 18)




Hadirin, jama’ah idul fitri yang dimuliakan Allah.
Point ketiga yang harus kita perhatikan adalah  kepedulian sosial. Pelaksanaan puasa tidak hanya sekedar terkait dengan fungsi penghambaan manusia terhadap Allah, tapi juga bertautan dengan sisi kemanusiaan. Puasa melatih sensitifitas sosial kita dalam mengarungi kehidupan. Sehingga ketika ramadhan berakhir, seharusnya feeling sosial kita tambah tajam untuk mengendus penderitaan masyarakat yang tersembunyi di balik gubug reot, di kolong jembatan dan bahkan di antara gedung-gedung pencakar langit.
Pernahkah kita berpikir bahwa di tengah kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah ini, masih banyak keluarga yang nasibnya selalu berteman derita. Masih banyak orang yang kesulitan untuk sekedar mencari sesuap nasi. Salah satu indikasinya, tiap hari kita menjumpai pengemis, gelandangan dan peminta-minta. Kalau  nurani kita tajam, tentu terenyuh menyaksikan mereka menengadahkan tangan di jalan. Mereka jelas butuh kepedulian sekaligus uluran tangan kita. Di situlah wujud nyata dari penggemblengan diri selama ramadlan.
Nabi Muhammad SAW mencap orang yang hanya mementingkan diri sendiri sebagai orang yang tidak beriman, seperti sabdanya:
عن ابن عباس قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ليس المؤمن الذي يشبع وجاره جائع إلى جنبه (رواه البيهقي )
“Dari Ibn Abbas, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah beriman orang yang kenyang, sementara tetangganya kelaparan”.
Hadist tersebut menunjukkan bahwa begitu pentingnya kita memperhatikan tetangga, sampai-sampai Nabi menghubungkan kepedulian dengan keimanan. Karena itu, orang yang hanya mau kenyang sendiri, padahal di kanan-kirinya masih banyak orang yang kelaparan, maka kwalitas keimanannya perlu dipertanyakan.
   Hadirin….
Tiga hal di atas, yaitu membudayakan kasih sayang menghindari mengejek, dan memelihara kepekaan sosial adalah merupakan kunci penting bagi terciptanya ukhuwah dan kerukunan abadi. Kerukunan adalah modal utama menuju kehidupan yang damai, aman dan tentram. Inilah sebenarnya yang menjadi tujuan manusia dalam mengarungi bahtera kehidupan, baik di dunia, lebih-lebih di akhirat kelak.
Sebagai manusia, tentu kita tak luput dari dosa dan khilaf. Tak ada doa besar jika terus menerus dimintakan ampun. Tak ada dosa kecil bila senantiasa ditimbun. Sekali lagi, marilah  kita buka pintu maaf lebar-lebar. Dari kata maaf itulah, kita bisa membangun kerukunan. Sebuah awal merajut kedamaian yang sesungguhnya. Minal a’idzin, wal fa’izin. Kullu amin wa antum bi khoir.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb….






0 komentar:

Posting Komentar

 

ISHMA ALHAMID Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template