Potret Diri Al Maturidi
Nama
lengkapnya adalah Abi Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al Maturidi. Nama
al-Maturidi dinisbatkan kepada nama salah satu desa di Samarkand Uzbikistan
yang bernama Maaturid. Al Maturidi kadang kala juga dijuluki al Anshori yang dinisbatkan
kepada nama salah seorang sahabat nabi yang rumahnya disinggahi Nabi Saw ketika
hijrah ke Madinah. Menurut DR. Fathullah Khulaif, ada beberapa gelar yang biasa
disandangkan kepada beliau oleh para pengikutnya, di antaranya Alamul Huda
(simbol petunjuk Allah) Imamul Huda (pemimpin yang membimbing kepada
petunjuk Allah SWT) Imam al Mutakallimin (pemimpin para ahli ilmu kalam)
Kitabuttauhid hal. 1. Menurut
Prof. DR. Muhammad Al-Sayyid Al Jalind para ahli biografi tidak memastikan tahun
kelahirannya yang tidak sedikitpun menyebut riwayat keluarga besarnya hanya beliau
diperkirakan lahir sekitar tahun 228 H dengan alasan beliau pernah menjadi
murid Muhammad bin Muqotil Al-Rozi yang wafat pada tahun 248 H sementara para
ulama hampir sepakat bahwa wafatnya pada tahun 333 H. Jika benar perkiraan
tahun kelahiran tersebut berarti Al- Maturidi termasuk orang yang diberi rizki
umur panjang yang berumur lebih dari 1 abad yakni 105 tahun dan dimakamkan Disamarkand.
Beliau belajar pada para ulama dari kalangan mazhab Hanafi diantaranya Abu
Bakar Al-Juzjani, Abi Nasr Al ‘Iyadh, Muhammad bin Muqotil Al-Rozi, Nashir bin
Yahya yang kesemuanya adalah tokoh ulama dari kalangan mazhab Hanafi dan
komentator karya-karya tulis dan pesan-pesan keagamaan Imam Hanafi. Tak heran
jika dikemudian hari Al-Maturidi mengelaborasi pemikiran Imam Hanafi memberikan
argumen akan keshahihannya dengan dalil-dalil naqli dan aqli yang meyakinkan,
karena itu para ahli sejarah ilmu kalam menggelari Al-Maturidi dengan julukan
Mutakallimu Al-Ahnaf yakni juru bicara pengikut Imam Hanafi dalam ilmu kalam. Diantara
murid Al-Maturidi yang pernah belajar dan dikader beliau yaitu Abul Qosim, Ishaq
bin Muhammad bin Ismail yang terkenal
dengan julukan Al-Hakim As-Samarkandih wafat pada tahun 340 H, Abul Hasan Ali
bin Sa’id Ar-Ros’ani, Abu Muhammad Abdul Karim yang terkenal dengan panggilan
Al-Bazdawi wafat tahun 390 H, Abul Al-Laits Al-Bukhori dari empat ulama
tersebut tersebarlah mazhab Maturidi Disamarkand dan dunia Islam pada umumnya.
Kehadiran Al-Maturidi mempunyai
peranan penting dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam, ketika Mazhab
Mu’tazilah yang menguasai para Khalifah Abbasiyah sehingga menjadi pembela
paham Mu’tazilah dan menghegemoni masyarakat pada satu waktu dengan kekuatan
senjata dan pada ketika yang lain mengintimidasi dengan kekuasaannya. Disisi
lain kalangan salaf dan para ahli hadits yang berpegang teguh pada nukilan yang
shahih ketika menghadapi kerancuan berfikir sebagaimana yang dilakukan oleh
kaum Mu’tazilah maka kaum salaf tersebut berdalil dengan Nash (Teks Al-Qur’an
dan Al-Hadits) dalam membentengi aqidah dan mereka mendapatkan tekanan karena
pendapat-pendapatnya.
Ditengah-tengah pergumulan inilah
hadir Abu Mansur Al-Maturidi di Negara Mawaro Annahri Uzbikistan pada waktu yang
bersamaan muncul pula tokoh yang bernama Abu Hasan Al-Asy’ari di Bagdad wafat
tahun 324 H sebagaimana juga mencuat kepermukaan nama Imam Abu Ja’far Al-Thahawi
di Mesir wafat tahun 321 H. Beliau bertiga membuat metodologi untuk membela
aqidah Islam yang benar yang berdasarkan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan
sesuai dengan dalil aqli, untuk mengetahui hal tersebut bisa kita telaah dari
karya tulis beliau bertiga kita akan mengetahui bagaimana cara mereka membantah
kaum Mu’tazilah yang mendahulukan akal ketimbang naqal (Al-Qur’an dan
Al-Hadist) dalam waktu yang bersamaan beliau bertiga mengemukakan metodologi
yang mengkolaborasi antara dalil akal dan naqal secara bersamaan yakni
menjadikan akal dan naqal berjalan seiring tidak paradok diantara keduanya, dalam
beberapa hal dari prinsip-prinsip ajaran Islam.
(Mausu’ah al
firaq Wa al Madzhahib hal. 614)
Pengikut Al
Maturidi dari kalangan Muta’akhkhirin :
Menurut
DR. Ali Abdul Fattah al Maghrabi ulama yang menganut madzhab al Maturidi dari
kalangan mut’akhkhirin cukup banyak diantaranya:
a. Syaikh Ali bin Sulthan Muhammad al Mahrawi al Makki
yang terkenal dengan panggilan Mulla Ali al Qori.
b. Syaikh Kamaluddin Ahmad al Bayadhi ulama terkenal pada
abad 11 H.
c. Ahmad Syah bin Abdurrohim yang di juluki dengan Syah Waliyullah
al Dahlawi (1176 H – 1763 M) beliau disamping pakar ilmu hadits adalah tokoh
pergerakan dalam bidang pendidikan di India yang ruh dan metodologinya sesuai
dengan prinsip ajaran al Maturidi.
d. Syaikh Muhammad Abduh tokoh pembaharu asal Mesir, yang
telah meletakkan dasar-dasar ilmu kalam modern sebagaimana di tuangkan dalam
bukunya yang berjudul Risalah al Tauhid yang berisi seputar pembahasan ilmu
kalam dengan diskripsi masa kini sesuai dengan metode terbaru dalam
perkembangan ilmu kalam dan dalam kenyataannya Syaikh Muhammad Abduh
menggunakan metodologi al Maturidi
sebagai dasar dalam pembaharuan ini, namun yang aneh Syaikh Muhammad
Abduh sama sekali tidak menyebut nama al Maturidi dalam kitab Risalah al
Tauhidnya.
Memang
kalau diperhatikan secara seksama dalam Risalah al Tauhid banyak kesesuaian
antara pemikiran Syaikh Muhammad Abduh dengan al Maturidi perihal
terpengaruhnya Syaikh Muhammad Abduh kepada al Maturidi itu bisa di telusuri
karena di Al Azhar sebagai almamater tempat Syaikh Muhammad Abduh belajar, itu diajarkan
beberapa kitab dari madzhab al Maturidi semisal Aqidah al Nasafi, Musayarah
karangan Ibnu al Hammam.
Al Firaq Kalamiah
al Islamiah Madhol Wa al-Dirosah (hal. 332-333)
Menurut hemat
penulis Hipotesa dari DR. Ali Abdul
Fattah al Maghrabi tersebut masih perlu penelitian lebih lanjut. Karena
bertolak belakang dengan temuan Prof. DR. Harun Nasution yang menyatakan bahwa
Syaikh Muhammad Abduh didalam kitab Risalah Tauhidnya itu sebagai penyambung
lidah kaum mu’tazilah dalam teologi rasionalnya (Muhammad Abduh dan teologi
rasional mu’tazilah hal. 92)
Al Maturidi Sebagai
Salah Satu Ikon ASWAJA
a. Kata Aswaja adalah kependekan dari istilahi Ahl al
Sunnah Wa al Jama’ah sedangkan kata Ahl al Sunnah Wa al Jama’ah terangkum dari
tiga kosa kata Ahl yang berarti keluarga, golongan atau pengikut.
b. Al Sunnah yaitu segala sesuatu yang diajarkan oleh
Rasulullah SAW berupa perbuatan, ucapan dan pengakuan Nabi Muhammad SAW.
c. Al-Jama’ah yakni apa yang telah disepakati oleh para
sahabat Rasulullah SAW pada Masa Khalifah yang empat, (Abu Bakar, Umar Bin
Khattab, Utsman bin Affan Ali bin Abi Thalib RDA) (Al Ghunyah li Thalibi Thariq
al Haq Juz 1, Hal. 80)
Ketika
Rasulullah SAW wafat beliau meninggalkan
dua perkara untuk dijadikan pedoman oleh umat Islam agar tidak tersesat dalam
perjalanan hidupnya yaitu Al Qur’an dan Al Sunnah.
Dalam perjalanan sejarah umat Islam semula
tidak memerlukan langkah-langkah kreatif dari para ulama namun setelah Islam
tersebar keberbagai Negara dan banyak orang dari agama lain berbondong-bondong
memeluk agama Islam yang sudah barang tentu ada sisa dari kepercayaan dan
keyakinan yang dibawa dari agama sebelumnya yang sulit untuk hilang begitu saja
maka terjadilah infiltrasi atau penyisipan kedalam ajaran Islam dari berbagai
paham lain yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka bangkitlah para ulama
yang berkompeten membendung arus pemikiran dan paham luar yang dimasukkan ke
dalam Islam utamanya dalam masalah aqidah salah seorang diantaranya ialah al
Maturidi yang merumuskan kembali aqidah Islam yang murni sesuai dengan apa yang
diajarkan Rasulullah SAW, kemudian produk rumusan al Maturidi tersebut dikenal
dengan istilah Ahl al Sunnah Wa al Jama’ah walaupun sebenarnya istilah tersebut
datangnya dari Rasulullah SAW sebagaimana disebutkan dalam beberapa Hadits
Shahih dan Mutawatir (Faidh al Qodir juz 2 hal 21)
Karena
besarnya jasa beliau kepada ASWAJA maka setiap ada kata Ahl al Sunnah Wa al
Jama’ah selalu dikaitkan dengan nama al Maturidi begitu juga dengan nama al
Asy’ari seperti yang dikatan Ibnu Hajar al Haitami berikut ini :
اَنَّ اْلمُرَادَ بِاَهْلِ السُّنَّةِ
حَيْثُ اُطْلِقُوْا اَتْبَاعُ اَبِي اْلحَسَنِ اْلأَشْعَرِيْ وَاَبِيْ مَنْصُوْرٍ
اْلمَاتُرِيْدِيِّ (تطهير الجنان واللسان,7)
Jika Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah disebutkan, maka yang dimaksud adalah orang-orang yang
mengikuti rumusan yang digagas oleh Imam Asy’ary (golongan Asya’irah) dan Imam
Maturidi (golongan Maturidiyyah). (Tathhir al-Janah wa al-Lisan, 7)
Hal senada disampaikan oleh
Thasy Kubri Zadah:
يَقُوْلُ طَاشْ كُوبْرِى زَادَةْ
: ثُمَّ اعْلَمْ أَنَّ رَئِيْسَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ فِي عِلْمِ الْكَلاَمِ
رَجُلاَنِ أَحَدُهُمَا حَنَفِيٌّ وَاْلاَخَرُشَافِعِيٌّ. أَمَّا اْلحَنَفِيُّ فَهُوَ
أَبُوْمَنْصُورٍ مُحَمَّدُبْنُ مُحَمَّدِبْنِ مَحْمُودٍ اَلْمَاتُرِيْدِيُّ اِمَامُ
اْلهُدَى.وَأَمَّا اْلاَخَرُ الشَّافِعِيُّ فَهُوَ شَيْخُ السُّنَّةِ وَرَئِيْسُ
الْجَمَاعَةِ اِمَامُ اْلمُتَكَلِّمِ وَنَصِرُ سُنَّةِ سَيِّدِاْلمُرْ سَلِيْنَ وَالذَّابُّ
عَنِ الدِّيْنِ وَالسَّاعِيْ فِي حِفْظِ عَقَائِدِ اْلمُسْلِمِيْنَ أَبُواْلحَسَنِ
اَلْاَشْعَرِيُّ اَلْبَصِرِيُّ (كتاب التوحيد,7)
“Thasy Kubri zadah berkata, “ketahuilah bahwa
pelopor gerakan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam ilmu kalam adalah dua orang.
Satu orang bermadzhab Hanafi, sedang yang lain dari golongan Syafi’I. seorang
yang bermadzhab Hanafi itu adalah Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud
al-Maturidi. Sedangkan yang dari golongan Syafi’I adalah Syaikh al-Sunnah
pemimpin masyarakat, imam mutakallimin, pembela sunnah Nabi SAW dan agama
Islam, pejuang dalam menjaga kemurnian akidah kaum muslimin, (yakni) Abu
al-Hasan al-Asya’ri al-Bashri. (Kitab al-Tauhid, 7)
MENGAPA AL-ASY’ARI LEBIH
POPULER KETIMBANG AL MATURIDI?
Walaupun
al-Asy’ari dan al Maturidi kedua duanya
adalah ikon aswaja tetapi al-Asy’ari lebih terkenal dari pada al Maturidi
padahal kedua duanya berjuang untuk membela aqidah yang benar melawan ahli
bid’ah yang menyimpang dari sunnah dan madhab salaf di samping al Maturidi
lebih dahulu berlaga memperjuangkan aswaja beliau terlahir sebagai aswaja
wafatnya juga sebagai aswaja sementara al Asyari dari masa muda sampai dengan
umur empat puluh tahun beliau berkutat dalam ajaran Mu’tazilah dan menjadi
tokoh Mu’tazilah. Kekurang populeran al Maturidi ini bisa dilihat dari tidak
meriwayatkannya para ahli sejarah dan pakar biografi, semisal Ibnu al Nadim
(379 H) yang wafat kurang dari lima puluh tahun dari wafatnya al Maturidi beliau
tidak menyebut nama al Maturidi dalam kitab Fihrisatnya semenatra beliau
menyebut nama al Thahawi seorang tokoh aswaja dari kalangan Hanafi di Mesir
yang semasa dengan al Maturidi begitu juga Ibnu Kholikan, Ibnu al Imad, al
Shofadi begitu juga penulis buku Fawatu al Wafayat hal yang sama juga dilakukan
Ibnu Khaldun dalam kitab mukaddimahnya ketika membahas seputar ilmu kalam
bahkan al Suyuthi juga tidak menyebutkan di dalam kitab Thabaqatu al Mufassiri
padahal al Maturidi adalah tokoh ahli tafsir beliau telah menulis kitab tafsir
yang berjudul Ta’wilatu ahlissunnah tidak hanya sampai di situ kalangan
pengikut imam Hanafi juga tidak menyebut nyebut nama al-Maturidi beda dengan al
Syafi’I yang selalu menguraikan panjang lebar tentang al Asy’ari dalam
karya-karya mereka lebih tragis lagi pengikut al Maturidi sendiri seperti Umar
al Nasafi dalam kitab al Aqaid al nasafiyah sama sekali tidak menyebut nama al
Maturidi gerangan apakah yang menyebabkan ini semua..? kata DR Fathullah
Khulaif al Maturidi hidup di Negara Ma wara al nahri Uzbikistan jauh dari pusat
peradaban islam sementara al Asyari berada di Irak sebagai pusat peradaban
islam pada waktu itu( mukaddimah kitab al Tauhid hal 9-10)
KARYA TULIS
AL-MATURIDI
Al-Maturidi mempunyai pengetahuan
yang luas dalam berbagai ilmu keislaman. Beliau telah mengarang kitab fiqih,
tafsir, ilmu kalam, dan buku-buku bantahan terhadap Mu’tazilah dan Mujassimah
sebagaimana juga beliau membela Islam dari serangan orang-orang Majusi dan Kaum
Pagan. Diantara karya tulis Al-Maturidi yang menunjukkan akan penguasaannya
terhadap ilmu-ilmu syari’at dan pembelaannya terhadap Ahlus-Sunnah dari
serangan golongan lain ialah:
1. Ta’wilatu Ahl Al Sunnah fi Tafsiril Qur’an
2. Aljadalu fil Usulil Fiqhi
3. Usuluddin
4. Al Maqolatu fi ilmil kalam.
5. Kitabut Tauhid fi shohihi I’tiqod
Catatan.
sudah beberapa kali diterbitkan
6. Wahmul Mu’tazilah fir Roddi A’lal Mu’tazilah
7. Roddu Awa’ili Adillati Alka’bi (Fi ‘ilmil kalam)
8. Roddul Usulil Khomsati lil baahili fil Roddi ‘alal
Mu’tazilah
9. Ar-Raddu ‘ala al qaramithah
Dialog
dengan orang kebatinan
10. Kitabul Imam
Untuk membantah tokoh-tokoh
Syi’ah
11. Raddu Wa’idil Fussaq lil Ka’bi
(Mausu’atu Al
Firaq wal Madzahib halaman 613-615)
Metodelogi
dan pemikiran Al-Maturidi
Abu
Mansur Al-Maturidi dan Abu al Hasan Al-Asy’ary hidup dalam masa yang bersamaan dan kedua-duanya
mempunyai obsesi yang sejalan, bedanya Al-Asy‘ary berdekatan dengan markas
lawan yang pada waktu itu kota Basrah sebagai tempat tumbuh kembangnya ajaran
mu’tazilah sekaligus sebagai pusat pengkaderannya. Di Kota Basrah inilah
gelanggang pertarungan pemikiran para ahli fiqh dan ahli hadits disatu pihak
dan mu’tazliah di pihak yang lain, sementara Abu Mansur Al-Maturidi jauh dari
medan pertempuran namun gemanya sampai juga ke tempat dimana Al-Maturidi
tinggal. Hanya saja di wilayah Ma Waara al Nahri ada kader-kader Mu’tazilah
yang menjadi juru bicara kaum Mu’tazilah Irak, mereka didatangi oleh Al-Maturidi
untuk di ajak berdialog. Disamping al Maturidi sering datang ke Basrah dalam
rangka berdialog masalah akidah, terhitung kunjungan al Maturidi ke Basrah
sebanyak dua puluh dua kali (Tarikh al Madzahib al Islamiyah, hal. 173 juz 1).
Karena
lawan Al-Maturidi dan Al-Asy‘ary itu sama, maka argumentasi untuk mematahkan
lawan hampir sama pula. Sehinga para ulama’ meyakini bahwa perbedaan Al- Maturidi
dan Al Asy’ary itu tidak banyak. Maka wajar kalau kesimpulan-kesimpulannya sama,
sekalipun tidak sepenuhnya, bahkan Syekh Muhammad Abduh menyatakan, bahwa
perbedaan antara Al Asy’ary dan Al Maturidi tidak lebih dari sepuluh masalah,
dan perbedaannya hanya bersifat lafdziyah ( Taarikh Al-Madzhaahibi Al-Islamiyah
: hal. 176 juz 1).
Al Maturidi di
dalam metodologi merumuskan akidah menempatkan akal dalam porsi yang sangat
besar sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abu Zahrah :
وَلِذَالِكَ نُقَرِّرُاَنًّ مِنْهَاجَ المْاَ تُرِيْدِ يَّةِ لِلْعَقْلِ سُلْطَانٌٌ
كَبِيْرٌ فِيْهِ مِنْ غَيْرِ أَىِّ شِطَاطٍ اَوْ اِسْرَا فٍ...و...اَنَّهُ يَأْ خُذُ
بِحُكْمِ الْعَقْلِ فِيْمَا لَايُخَالِفُ الشَّرْعَ فَاِنْ خَالَفَ الشَّرْعَ فَلاَ
بُدَّ مِنَ اْلخُضُوْعِ لِحُكْمِ الشَّرْعِ (تاريخ المذاهب الااسلا مية ص 177 ج 1)
Kami berkesimpulan bahwa metode al Maturidiyah ialah memberikan porsi
kepada akal secara cukup besar tanpa berlebihan, namun demikian apabila terjadi
pertentangan antara akal dan syara’ (teks) maka akal harus patuh kepada syara’
(Tarikh al Madzahib al Islamiyah hal. 177. Juz 1)
Persamaan antara pemikiran al Maturidi dengan al Asy’ary
Para ahli ilmu
kalam berbeda pendapat tentang apakah produk pemikiran al Maturidi itu berbeda
dengan al Asy’ary? menurut Syaikh Abu Zahrah dan Syaikh Muhammad Zahid Al
Kautsari terdapat perbedaan yang cukup mendasar akan tetapi menurut DR.
Fathullah Khulaif diantara al Maturidi dan al Asy’ary tidak ada perbedaan
prinsip bahkan seiring sejalan sebagai buktinya ialah contoh-contoh dibawah ini
:
Pendapat Al
As’ary mengenai sifat-sifat Allah sebagai berikut:
قَالَ اْبنُ عَسَاكِرَ:اَنَّهُ نَظَرَ فِي كُتُبِ
المْعُتْزِلَةِ وَالْجَهْمِيَةِ وَاْلرَّافِضَةِ وَاَنَّهُمْ عَطَّلُوْا وَاَبْطَلُوْا
فَقَالُوْا : لاَعِلْمَ ِللَِّهِ وَلاَ قُدْرَةَ وَلاَسَمْعَ وَلاَبَصَرَوَلاَ حَيَاةَ
وَلاَبَقَاءَ وَلاَ اِرَادَةَ. وَقَالَتِ الْحَشَوِيَّةُ وَاْلمُجَسِّمَةُ وَالْمُكَيِّفَةُ
الْمُحَدَّدَةُ: اِنَّ ِللهِ عِلْمًا كَالْعُلُوْمِ وَقُدْرَةً كَالْقَدْرِ وَسَمْعًا
كَاْلاَسْمَاعِ وَبَصَرًا كَاْلاَبْصَارِ. فَسَلَكَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ طَرِيْقَةً
بَيْنَهُمَا فَقَالَ : اِنَّ ِللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عِلْمًا لاَ كَالْعُلُوْمِ
وَقُدْرَةً لاَ كَالْقَدْرِ وَسَمْعًا لاَ كَاْلاَسْمَاعِ وَبَصَرًا لاَ كَاْلاَبْصَارِ.(تبيين
كذب المفتري ص 149_ كتاب اللمع ص 10-14)
Kata Ibnu Asakir: beliau melihat didalam kitab-kitab
Mu’tazilah, Jahmiyyah, Rafidhah merka semua meniadakan sifat-sifat Allah dan
membatalkannya, mereka berpendapat: Allah tidak mempunyai
ilmu,kekuasaan,pendengaran,pengllihatan, kehidupan, kekekalan, kehendak.
Menurut Hasyawiyah dan Mujazzimah dan mereka yang menganggap Allah berbentuk
dan bisa dibatasi: Allah mempunyai ilmu sebagaimana ilmu-ilmu yang lain,
mempunyai kekuasaan, pendengaran,penglihatan, seperti kekuasaan , pendengaran dan penglijhtan yang lain. Maka
Al Asy’ari mengambil jalan tengah di antara keduanya dan mengatakan bahwa:
Allah mempunyai ilmu tetapi tidak seperti ilmu-ilmu yang lain, Allah mempunyai
kekuasan , pendengaran dan penglihatan
tetapi tidak seperti kekuasaan ,
pendengaran dan penglihatan yang lain. ( tabbiyin kidzbil muftari hal. 149/kitab
al luma’I 10-14)
Bandingkan
dengan pernyataan Al Maturidi berikut ini:
وَاللهُ وَاحِدٌ لاَ شَبِيْهَ لَهُ... وَلَيْسَ فِي اِثْبَاتِ
اْلاَسْمَاءِ وَتَحْقِيْقِ الصِّفَاتِ تَشَابُهٌ...لَكِنَّا ( اَرَدْنَا ) بِهِ مَا
يُسْقِطُ الشُّبْهَ مِنْ قَوْلِنَا : عَالِمٌ لاَ كَالْعُلَمَاءِ, وَهَذَا الَّنوْعُ
فِي كُلِّ مَانُسَمِّيْهِ بِهِ وَنَصِفُهُ.(كتاب التوحيد ص 23-25)
Allah maha Esa tidak ada yang serupa dengan-NYA….di
dalam menetapkan dan memantapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT itu tidak
ada kerancuan. Tetpi kami bermaksud menghilangkan kekaburan dengan mengatakan:
Allah itu maha mengetahui tetapi tidak seperti lainnya yang tahu. Cara seperti
ini yang kami lakukan dalam setiap nama dan sifat Allah SWT ( Kitabut Al
Tauhid hal 23-25)
Pendapat Al
Asy’ary tentang Ru’yatullah (melihat Allah):
اِبْنُ عَسَاكِرَ: وَكَذَالِكَ قاَلَتِ الْحَشَوِيَّةُ
الْمُشَبِّهَةُ : اِنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يُرَى مُكَيَّفًا مَحْدُوْدًا
كَسَائِرِ الْمَرْئِيَاتِ. وَقَالَتِ الْمُعْتَزِلَةُ وَالْجَهْمِيَةُ وَالَّنجَّارِيَةُ
: اِنَّهُ سُبْحَانَهُ لاَيُرَى بِحَالٍ مِنَ اْلاَحْوَالِ . فَسَلَكَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ طَرِيْقَةً بَيْنَهُمَا فَقَالَ : يُرَى مِنْ غَيْرِحُلُوْلٍ وَلاَ حُدُوْدٍ
وَلاَ تَكْيِيْفٍ. كَمَا يَرَانَا هُوَ سُبْحَاَنَهُ وَتَعَالَى وَهُوَ غَيْرُ مَحْدُوْدٍ
وَلاَ مُكَيَّفٍ, فَكَذَاِلكَ نَرَاهُ, وَهُوَ غَيْرُ مَحْدُوْدٍ وَلاَ مُكَيَّفٍ
(تبيين الكذب المفترى ص 149-150, كتاب اللمع ص 32-36)
Kata ibnu Asakir “menurut
Hasyawiyah dan Musyabbihah Allah itu bisa dilihat dan bisa digambarkan bentuk
Nya serta dibatasi sebagaimana segala sesuatu yang bisa dilihat, sementara
Mu’tazilah, Jahmiyah dan Najjariyah berpendapat : Allah SWT sama sekali tidak
bisa dilihat, maka imam al Asy’ari mengambil jalan tengah di antara keduanya
beliau berpendapat Allah bisa dilihat tanpa membutuhkan tempat dan batas serta
tidak bisa digambarkan bentuk Nya sebagaimana Allah melihat kita yang tidak
dibatasi dan tidak digambarkan bentuk Nya, begitu juga kita melihat Allah Dia
tidak dibatasi dan tidak digambarkan bentuk Nya, ( Tabyin Kidzbil Muftari: hal,
149 – 150 / kitab al Luma’ : hal, 32 dan 36 )
Bandingkan dengan pernyataan Al Maturidi dalam masalah
yang sama:
اْلقَوْلُ فِي
رُؤْيَةِ الَّربِّ عَزَّ وَجَلَّ عِنْدَنَا لاَزِمٌ وَحَقٌّ مِنْ غَيْرِ اِدْرَاكٍ
وَلاَ تَفْسِيْرٍ...وَلاَ نَقُوْلُ بِاْلاِدْرَاكِِ لِقَوْلِهِ : لاَ تُدْرِكُهُ اْلاَبْصَارُ(
الانعام اية 103), فَقَدِامْتَدَحَ بِهِ بِنَفْيِ اْلاِدْرَاكِ لاَ بِنَفْيِ الُّرؤْيَةِ... وَأَيٍْضًا
اَنَّ اْلاِدْرَاكَ اِنَّمَا هُوَ اْلاِحَاطَةُ بِالْمَحْدُوْدِ وَاللهُ يَتَعَالَى
عَنْ وَصْفِ الْحَدِّ ... فَاِنْ قِيْلَ :كَيْفَ يُرَى؟ قِيْلَ بِلاَ كَيْفٍ اِذِ
اْلكَيْفِيَّةُ تَكُوْنُ لِذِى صُوْرَةٍ بَلْ
يُرَى بِلاَ وَصْفِ قِيَامٍ وَقُعُوْدٍ وَاتِّكَاءٍ وَتَعَلُّقٍ وَاتِّصَالٍ وَاْنفِصَالٍ
وَمُقَابَلَةٍ وَمُدَابَرَةٍ وَقَصِيْرٍ وَطَوِيْلٍ وَنُوْرٍ وَظُلْمَةٍ وَسَاكِنٍ
وَمُتَحَرِّكٍ وَمُمَاسٍ وَمُبَايِنٍ وَخَارِجٍ وَدَاخِلٍ وَلاَ مَعْنًى يَأْخُذُهُ
اْلوَهْمُ اَويُقَدِرهُ اْلعَقْلُ لَتَعَالِيْهِ عَنْ ذاَلِكَ(كتاب التوحيد ص
77,81,85)
Pendapatku
tentang melihat tuhan itu pasti dan benar dengan tanpa idrak ( melihat
secara utuh sebagaimana melihat makhluk) dan tafsir…?kami menyatakan tidak bisa
di idrak karena firman Allah yang artinya “ tidak bisa melihat (idrak) kepada
Nya semua penglihatan ( al ‘An’am : ayat, 103) dalam ayat tersebut yang tidak
bisa itu ialah idrak bukan melihat, disamping idrak itu berarti mengetahui
dengan ada batasannya, sedangkan Allah maha suci dari disifati dengan batas,
apabila ditanyakan bagaimana Allah SWT bisa dilihat…? dijawab ialah dengan
tanpa digambarkan bentukNya karena yang bisa digambarkan bentuknya itu hanyalah
melihat sesuatu yang berbentuk, sebab itu Allah dilihat tanpa mensifati dengan
sifat berdiri, duduk, bersandar, bergantung, bersambung, berpisah, berhadapan,
bertolak belakang, pendek, panjang, terang, gelap, diam, bergerak, bisa
disentuh, tidak bisa disentuh, diluar, didalam dan semua arti yang tergambar
dalam pikiran manusia dan bisa diperkirakan oleh akal, Allah maha suci dari
kesemuanya itu. (kitabu al Tauhid : hal,77, 81, 85)
Pandangan Al Asy’ary tentang
perbuatan manusia dikatakan oleh Ibnu Asakir:
قَالَ اِبْنُ عَسَاكِرَ وَكَذَالِكَ
قَالَ جَهْمٌ بِنْ صَفْوَانَ :اْلعَبْدُ لاَيَقْدِرُ عَلَى اِحْدَاثِ شَيْءٍ وَلاَ
عَلَى كَسْبِ شَيْءٍ ,وَقاَلَتِ الْمُعْتَزِلَةُ : هُوَ قَادِرٌ عَلَى اْلاِحْدَاثِ وَاْلكَسْبِ مَعًا.فَسَلَكَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ طَرِيْقَةً بَيْنَهُمَافَقَالَ: اْلعَبْدُ لاَيَقْدِرُعَلَى اْلاِحْدَاثِ
وَيَقْدِرُ عَلَى اْلكَسْبِ وَنَفَى قُدْرَةَ اْلاَحْدَاثِ وَاَثْبَتَ قُدْرَةَ اْلكَسْبِ(تبيين الكذب المفترى ص 149)
Jaham bin
Sofwan berkata : manusia tidak mempunyai kemampuan untuk mengadakan sesuatu dan
mengusahakan sesuatu. Mu’tazilah berpendapat : manusia itu mampu mengadakan
sesuatu dan mengusahakannya secara bersamaan, maka imam al Asy’ari mengambil
jalan di antara keduanya: manusia tidak mampu mengadakan sesuatu tapi mampu mengusahakan sesuatu, al Asy’ari
meniadakan kemampuan penciptaan kepada manusia,tetapi menetapkan kemampuan
berusaha. ( Tabyin kidzbil Muftari: hal,149 / Kitab al Luma’: hal, 37 dan 69 )
Hal senada disampaikan oleh Al
Maturidi berikut ini:
"
اِخْتَلَفَ مُنْتَحِلُوا اْلاِسْلاَمِ فِي اَ فْعَا لِ الْخَلْقِ ,فَمِنْهُمْ مَنْ جَعَلَهَا لهَمُْ مَجَازً
ا ,وَحَقِيْقَتُهَا ِللهِ ... وَعِنْدَنَا لاَزِمٌ تَحْقِيْقُ اْلفِعْلِ لَهُمْ
...وَلَيْسَ فِي اْلاِضَافَةِ اِلَى اللهِ سُبْحَانَهُ نَفْيُ ذَلِكَ ,بَلْ هِِيَ ِللهِ
بِاَنْ خَلَقَهَا عَلَى مَا هِيَ عَلَيْهِ ,وَاَوْجَدَهَا بَعْدَ اَنْ لمَ ْتَكُنْ
,وَلِلْخَلْقِ مَا كَسَبُوْهَا وَفَعَلُوْهَا (كتاب التوحيد ص 225-226)
Pemeluk
agama Islam berbeda pendapat tentang perbuatan makhluk, ada yang mengatakan
bahwa perbuatan makhluk itu majaz (tampak luar) tetapi pada hakikatnya ia
adalah perbuatan Allah. Menurut kami
menjadi keharusan menyandarkan perbuatan-perbuatan itu kepada makhluk secara hakiki, dan di dalam
menyandarkan perbuatan-perbuatan itu kepada Allah tidak menghilangkan
penyandaran perbutan itu kepada manusia bahkan perbuatan-perbuatan itu adalah
milik Allah setelah menciptakannya sesuai dengan rencanaNYA dan mengadakannya
setelah sebelumnya tidak ada dan bagi makhluk apa yang diusahakan dan
diperbuatnya. ( kitab al Tauhid, hal:
225-226)
Persamaan-persamaan ini juga
terjadi dalam beberapa pokok ilmu kalam tentang Arsy dan istiwa’, murtakibi al
kabirah (pelaku dosa besar) tentang safa’at dan lain-lain.
0 komentar:
Posting Komentar