CONTOH - CONTOH PERBUATAN AL AHKAM AL
KHAMSAH DAN HUKUM WADH’I
DI SUSUN DALAM RANGKA PEMENUHAN TUGAS
MATA KULIAH HUKUM ISLAM
SEMESTER II
OLEH : ISMATUL ABQORIYAH
NIM : 110710101086
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER
PERIODE 2011-2012
1. CONTOH PERBUATAN AL AHKAM AL KHAMSAH (HUKUM
YANG LIMA)
1.
WAJIB
wajib adalah suatu perbuatan yang dituntut Allah untuk dilakukan
secara tuntutan pasti, yang diberi ganjaran dengan pahala bagi orang yang
melakukannya dan diancam dosa bagi orang yang meninggalkannya karena
bertentangan dengan kehendak yang menuntut.[1]
Wajib dapat dibagi dari beberapa segi ,dan diantaranya adalah dari
segi pelaksana atau pihak yang dituntut. Dari segi pihak yang dituntut
melaksanakan kewajiban, wajib terbagi dua, yaitu :
a. Wajib ‘Aini (kewajiban secara pribadi) : sesuatu yang dituntut oleh
syar’i (pembuat hukum) untuk melaksankannya dari setiap pribadi dari pribadi
mukallaf (subjek hukum).kewajiban itu harus dilaksanakan sendiri dan tidak
mungkin dilakukan oleh orang lain atau karena perbuatan orang lain.[2]
Ø Contoh :1. Shalat 5 Waktu, setiap pribadi atau masing –
masing pribadi mukallaf di haruskan melaksanakan ibadah shalat sendiri dengan
arti lain tidak mungkin untuk mewakilkannya kepada orang lain, oleh sebab
itulah shalat 5 waktu merupakan salah satu perbuatan yang diwajibkan.
b.
Wajib
Kafa’i/ Kifayah (kewajiban bersifat kelompok) : sesuatu yang dituntut oleh
pembuat hukum melakukannya dari sejumlah mukallaf dan tidak dari setiap pribadi
mukallaf. Hal ini bebrarti bila sebagian atau beberapa orang mukallaf telah
tampil melaksanakan kewajiban itu dan telah terlaksana apa yang dituntut, maka
lepaslah orang lain dari tuntutan itu. Tetapi bila tidak seorangpun
melaksanakannya hingga apa yang dituntut itu terlantar, maka berdosa semuanya.
Ø Contoh :2. Shalat Jenazah, yang mana dalam pelaksanaan
shalat jenazah ini tidak semua mukallaf diwajibkan untuk melaksanakannya
melainkan diperbolehkan hanya sebagian dari sekumpulan mukallaf. Akan tetapi
bila tidak seorangpun melaksanakannya atau mengabaikannya maka semuanya akan mendapat
dosa.
2.
SUNNAH
Sunnah adalah sesuatu yang dituntut untuk memperbuatnya secara
hukum syar’i tanpa adanya celaan atau dosa terhadap orang yang meninggalkan
secara mutlak. Sedang dalam arti dalil hukum mempunyai arti yang sama dengan
ini, yaitu sesuatu yang berasal dari Nabi baik dalam bentuk ucapan, perbuatan
atau pengakuan. [3]
Sunnah dapat dibagi dari beberapa segi, diantaranya adalah dari
segi selalu dan tidaknya Nabi melakukan perbuatan sunnah. Sunnah ini terbagi
dua, yaitu :[4]
a.
Sunnah
Muakkadah : yaitu perbuatan yang selalu dilakukan oleh Nabi disamping ada
keterangan yang menunjukkan bahwa perbuatan itu bukanlah sesuatu yang fardhu.
Ø Contoh : 1. Shalat Witir, sunnah dalam bentuk ini, karena
kuatnya, sebagian ulama’ menyatakan bahwa orang yang meninggalkannya dicela,
tetapi tidak berdosa, karena orang yang meninggalkannya secara sengaja berarti
menyalahi sunnah yang biasa dilakukan oleh Nabi.
b.
Sunnah
Ghairu Muakkad : yaitu perbuatan yang pernah dilakukan oleh Nabi, tetapi Nabi
tidak melazimkan dirinya untuk berbuat demikian.
Ø Contoh :2. Memberi
Sedekah Kepada Orang Miskin, dalam hal ini kita dianjurkan untuk
melaksanakannya namun tidak akan berdosa bila tidak melakukannya. Dalam perbuatan
seperti ini digunakan kata : nafal, mustahab, ihsan, dan tathawwu’.
3.
HARAM
Ialah suatu perbuatan yang apabila dilakukan akan mendapat siksa
atau dosa, dan sebaliknya apabila ditinggalkannya maka akan mendapat ganjaran
atau pahala. Prinsipnya, dalam penetapan hukum haram bagi yang dilarang adalah
karena adanya sifat memberi mudharat (merusak) dalam perbuatan yang dilarang
itu. Allah tidak akan mengharamkan sesuatu kecuali terdapat unsur perusak
menurut biasanya. Haram menurut pengertian ini terbagi dua :
a.
Haram
Dzati : yaitu sesuatu yang disengaja oleh Allah mengharamkannya karena
terdapatunsur perusak yang langsung mengenai dharuriyat yang lima (lima unsur
pokok dalam kehidupan manusia muslim).
Ø Contoh :1.
-
Haramnya
membunuh karena langsung mengenai jiwa (nyawa)
-
Haramnya
minum khamar karena langsung mengenai akal
-
Haramnya
murtad karena langsung mengenai agama
-
Haramnya
mencuri karena langsung mengenai harta
-
Haramnya
berzina karena langsung mengenai keturunan atau harga diri.[5]
b.
Haram
‘Ardhi / Ghairu Dzati : yaitu haram yang larangannya bukan karena zatnya,
artinya tidak langsung mengenai satu diantara dharuriyat yang lima itu, tapi
secara tidak langsung akan mengenai hal-hal yang bersifat dzati tersebut.
Ø Contoh :2
-
melihat
aurat perempuan yang akan dapat membawa kepada zina
-
penipuan
yang dapat membawa kepada pencurian
-
bercanda
dengan ayat-ayat Alqur’an yang dapat membawa kepada murtad. Perbuatan-perbuatan
tersebut diharamkan dengan dalil tertentu karena membawa kepada larangan yang bersifat
dzati.
4.
MAKRUH
Secara bahasa karahah adalah sesuatu yang tidak disenangi atau
sesuatu yang dijauhi, sedang dalam istilah ialah sesuatu yang diberi pahala
orang yang meninggalkannya dan tidak diberi dosa orang yang melakukannya.
Ø Contoh :1. Larangan banyak bertanya dalam surat al-Maidah
(5):101:
Artinya : “hai orang-orang yang beriman jangan kamu banyak tanya
tentang sesuatu, bila dijelaskan kepadamu akan menyulitkan untukmu”.
Dalam ayat ini Allah melarang seseorang banyak bertanya. Ujung ayat
ini menjelaskan akibat banyak bertanya itu terhadap si penanya. Ungkapan ini
memberi petunjuk tidak pastinya larangan itu untuk menghasilkan hukum haram,
meskipun demikian banyak bertanya itu termasuk perbuatan yang tidak terpuji.
Ø Contoh :2. Main kartu (seperti domino) bukan untuk tujuan
judi. Dari segi main kartu saja hukumnya hanya makruh karena dapat mengganggu
ketenangan beribadah. Tetapi bila dilakukan berketerusan sampai meninggalkan
perbuatan wajib, maka hukumnya menjadi haram.
5.
MUBAH
Dalam istilah hukum, mubah adalah sesuatu yang diberi kemungkinan
oleh pembuat hukum untuk memilih antara memperbuat dan meninggalkan. Ia boleh
melakukan atau tidak. Sehubungan dengan pengertian tersebut, Al Syathibi
membagi mubah menjadi beberapa macam, diantaranya adalah :[6]
a.
Mubah
yang Mengikuti Suruhan Untuk Berbuat : mubah dalam bentuk ini disebut mubah
dalam bentuk bagian, tetapi dituntut berbuat secara keseluruhan.
Ø contoh :1. Makan dan
Kawin, mubah dalam bentuk ini tidak boleh ditinggalkan secara menyeluruh, karena
merupakan kebutuhan atau kepentingan pokok manusia.
b.
Mubah
yang Mengikuti Tuntutan Untuk Meninggalkan : mubah dalam bentuk ini disebut :
“mubah secara juz’i tetapi dilarang secara keseluruhan”.
Ø Contoh :2. Bermain,
perbuatan ini dalam waktu tertentu hukumnya mubah, tetapi bila dilakukan
sepanjang waktu, hukumnya menjadi haram.
2.
HUKUM WADH’I
Hukum
wadh’i ini tidak harus berhubungan dengan tingkah laku manusia tetapi bisa
berbentuk ketentuan-ketentuan yang ada kaitannya dengan perbuatan mukallaf yang
dinamakan hukum taklifi, baik hubungan itu dalam bentuk sebab dan yang
dinamakan hukum taklifi, baik hubungan itu dalam bentuk sebab dan yang diberi
sebab, atau syarat yang diberi syarat atau penghalang yang dikenakan halangan.
Dengan demikian, hukum wadh’i itu ada tiga macam, yaitu :
1.
SABAB
Adalah sesuatu yang tampak yang dijadikan tanda adanya hokum
(illat) atau keadaan yang mempengaruhi ada atau tidak adanya hukum.
Ø Contoh :1. Masuknya bulan Ramadhan menjadi pertanda datangnya kewajiban
puasa Ramadhan. Masuknya bulan Ramadhan adalah sesuatu yang jelas dan dapat
diukur apakah betul bulan Ramadhan itu sudah dating atau belum. Masuknya bulan
Ramadhan menjadi sebab, sedangkan datangnya kewajiban puasa Ramadhan disebut
musabbab atau hukum.[7]
Ø Contoh :2. Sifat memabukkan yang terdapat dalam suatu minuman menjadi
sebab atau petunjuk bagi hukum haramnya minuman itu. Bila sudah menemukan sifat
tersebut pada minuman, maka terdapat hokum haram. Bila pada suatu minuman tidak
terdapat sifat tersebut, maka tidak berlaku padanya hukum haram. Dengan
demikian sifat memabukkan disebut petunjuk bagi adanya hukum atau sebab bagi
hokum. Sedangkan hokum adalah apa yang diberi petunjuk atau disebut musabbab.
2. SYARAT
Adalah sesuatu yang kepadanya tergantung
suatu hukum. Syarat itu terbagi menjadi tiga bentuk :
a. Syarat ‘Aqli seperti kehidupan menjadi syarat untuk dapat mengetahui.
Adanya paham menjadi syarat untuk adanya taklif atau beban hokum.
b. Syarat ‘Adi, artinya berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku.
Ø Contoh : Bersentuhnya api dengan barang yang dapat terbakar menjadi
syarat berlangsungnya kebakaran.
c. Syarat Syar’i, yaitu syarat berdasarkan penetapan syara’.[8]
Ø Contoh :
-
Sucinya badan menjadi syarat untuk shalat.
-
Nisab menjadi syarat wajibnya zakat
3. MANI’ (PENGHALANG)
Secara definitif para ahli mengartikan
mani’ ialah sesuatu yang dari segi hokum, keberadaannya meniadakan tujuan
dimaksud dari sebab atau hokum. Kata amru syari’ disebut dalam definisi
menunjukkan bahwa yang menjadi penghalang itu adalah suatu perbuatan hokum yang
ditetapkan oleh pembuat hokum sendiri sebagai penghalang, yaitu Hadits Nabi
yang mengatakan :
القا تل لا يرث
Si pembunuh
tidak berhak mewarisi orang yang dibunuhnya.
Dari definisi diatas terlihat ada
dua macam mani’ bila dilihat dari segi sasaran yang dikenai pengaruhnya, yaitu
:
a. Mani’ yang berpengaruh terhadap sebab,
dalam arti adanya mani’ mengakibatkan “sebab” tidak dianggap berarti lagi.
Dengan tidak berartinya sebab itu dengan sendirinya musabab atau hukum pun
tidak akan ada karena dia mengikuti kepada sebab.
Ø Contoh : maslah utang, keadaan berutang itu
menyebabkan kekayaan senisab yang menjadi sebab diwajibkannya zakat tidak lagi
diperhatikan. Karenanya kewajiban zakat sebagai musabab dari adanya harta
senisab tentu tidak ada lagi. Artinya tidak diwajibkan zakat atas orang yang
berhutang meskipun jumlah kekayaannya mencapai nisab.
b. Mani’ yang berpengaruh terhadap hukum,
dalam arti menolak adanya hukum meskipun ada sebab yang mengakibatkan adanya
hukum.
Ø Contoh : keadaan pembunh adalah ayah si
korban menghalangi atau menolak berlakunya hukum qishas, meskipun sebab untuk
adanya hukum qishas yaitu pembunuhan tetap berlaku dalam kasus ini. Semestinya
dengan adanya sebab itu (pembunuh), tentu ada hukumnya (wajib qishas). Namun
hukum dalam hal ini tidak ada karena adanya mani’ (si pembunuh adalah ayah dari
si korban).