Jumat, 24 Mei 2013

YURISDIKSI NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL


KATA PENGANTAR
            Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan rahmat dan hidayah- Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Yurisdiksi Negara dalam Hukum Internasional” ini dengan baik dan sesuai waktu yang direncanakan, walaupun dalam pembahasan dan uraiannya masih sederhana. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Internasional semester IV di Fakultas Hukum Universitas Jember.
Penulis menyadari sepenuhya, tanpa bantuan dan partisipasi dari semua pihak, baik moril maupun materiil, penulisan makalah ini tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baik.Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah penulis sampaikan terima kasih kepada :
1.      Ibu Rini A. Anggraini S.H.,M.H. ,  Bapak Ida Bagus Oka Ana, S.H.,M.H. dan Bapak Gautama B. Arundhati, S.H., M.H selaku dosen pengajar mata kuliah Hukum Internasional yang dengan perantaranya, penulis mendapatkan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat,
2.      orang tua dan keluarga penulis yang telah memberikan dukungan serta do’a yang tiada henti,
3.      teman- teman yang telah memberikan semangat atau dorongan kepada penulis,
4.      semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Tiada gading yang tak retak, begitu adanya penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif sangat diharapkan guna kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat.


 Tim Penulis               





DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………              i
DAFTAR ISI …………………………………………………………..…               ii
BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………….               1
1.1    Latar Belakang……………………………………………….                1
1.2    Rumusan Masalah…………………………………………....                1
1.3    Dasar Hukum………………………………………………..                 1

BAB II. PEMBAHASAN………………………………………………….                        2

2.1  Pengertian Yurisdiksi Negara dalam Hukum Internasional ……             3
2.2  Prinsip – prinsip Yurisdiksi dalam Hukum Internasional……………                    5
2.3  Penerapan Yurisdiksi Ekstrateritorial………………….………..            12
2.4  Bentuk Kerjasama Antarnegara dalam Penerapan Yurisdiksi….             14

BAB III. PENUTUP…..…………………………………………………..              18

3.1 Kesimpulan ……………………………………………………              18
3.2 Saran……………………………………………………………             19

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………                        20

 
BAB I
PENDAHULUAN
1.1       Latar Belakang
Tertib hukum internasional dilandasi prinsip kedaulatan Negara. Setiap Negara merdeka memiliki kedaulatan untuk mengatur segala sesuatu yang ada maupun yang terjadi di wilayah atau teritorialnya. Sebagai implementasi dimilikinya kedaulatan, Negara berwenang untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum dan untuk menegakkan atau menetapkan ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya terhadap suatu peristiwa, kekayaan dan perbuatan. Kewenangan ini dikenal sebagai yurisdiksi Negara dalam hukum internasional.

Yurisdiksi Negara dalam hokum internasional jelas berperan sangat penting dalam tiap-tiap Negara, dengan demikian tiap Negara berwenang untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hokum nasionalnya terhadap suatu peristiwa, kekayaan dan perbuatan apapun yang terjadi di wilayah atau teritorialnya.
1.2       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah-masalah yang dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.      Apa pengertian yurisdiksi negara dalam Hukum Internasional ?
2.      Apa saja prinsip-prinsip yurisdiksi dalam Hukum International ?
3.      Bagaimana penerapan yurisdiksi ekstrateritorial ?
4.      Bagaimana bentuk kerja sama antarnegara dalam penerapan yurisdiksi ?
1.3       Dasar Hukum
1.       



BAB 2
PEMBAHASAN
2.1       Pengertian Yurisdiksi Negara Dalam Hukum Intrenasional
            Kata yurisdiksi (jurisdiction) berasal dari kata yurisdictio. Kata yurisdictio berasal dari dua kata yaitu kata Yuris dan Diction. Yuris berarti kepunyaan hukum atau kepunyaan menurut hukum. Adapun Dictio berarti ucapan, sabda atau sebutan. Dengan demikian dilihat dari asal katanya Nampak bahwa yurisdiksi berkaitan dengan masalah hukum, kepunyaan menurut hukum atau kewenangan menurut hukum.[1]
            Dalam praktik kata yurisdiksi sering memiliki bebarapa arti seperti di pengadilan Inggris dalam kasus custody of children sering dinyatakan bahwa para pihak dilarang melakukan  out of the jurisdiction of the court” terhadap anak-anak yang berarti melarang membawa anak-anak keluar dari Inggris. Kata jurisdiction di sini berarti territory. Dalam Piagam PBB sering digunakan istilah domestic jurisdiction yang berarti kewenangan domestik. Meskipun demikian, dalam praktik, kata yurisdiksi paling sering untuk menyatakan kewenangan yang dlaksanakan oleh Negara terhadap orang, benda atau peristiwa. Menurut Wayan Parthiana, kata yurisdiksi berarti kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki suatu badan peradilan atau badan-badan Negara lainnya yang berdasarkan atas hukum yang berlaku. Bila yurisdiksi dikaitkan dengan Negara maka akan berarti kekuasaan atau kewenangan Negara untuk menetapkan dan memaksakan (to declare and to enfore) hukum yang dibuat oleh Negara atau bangsa itu sendiri.[2]
            Dalam bahasa yang lebih sederhana Shaw mengemukakan bahwa yurisdiksi adalah kompetensi atau kekuasaan hukum Negara terhadap orang, benda dan peristiwa hukum. Yurisdiksi ini merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan Negara, persamaan derajat Negara dan prinsip non intervensi.
            Ada tiga macam yurisdiksi yang dimiliki oleh Negara yang berdaulat menurut John O’Brien, yaitu:
1.      Kewenangan Negara untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum terhadap orang, benda, peristiwa maupun perbuatan di wilayah teritorialnya (legislative jurisdiction or prescriptive jurisdiction) ;
2.      Kewenangan Negara untuk memaksakan berlakunya ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya (executive jurisdiction or enforcement jurisdiction) ;
3.      Kewenangan pengadilan Negara untuk mengadili dan memberikan putusan hukum (yudicial jurisdiction).
Adalah penting untuk membedakan antara ketiga yurisdiksi di atas. Menurut Akehurst, khususnya membedakan antara yang kedua dengan yang ketiga. Contoh enforcement jurisdiction adalah menangkap seseorang, menyita harta kekayaan dan lain-lain. Enforcement jurisdiction menurut Akehurst merupakan powers of physical interference exercised by the executive. Contoh enforcement jurisdiction adalah menangkap seseorang, menyita harta kekayaan dan lain-lain. Adapun contoh judicial enforcement adalah persidangan yang dilakukan pengadilan suatu Negara berkaitan dengan orang, banda maupun  peristiwa tertentu.[3]
Bila Akehurst menekankan perbedaan antara enforcement jurisdiction dengan judicial jurisdiction. Beberapa penulis lain seperti Martin Dixon dan Tien Saefullah menggabungkan keduanya dalam enforcement jurisdiction. Dengan demikian, menurut mereka keweangan Negara untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum dikenal sebagai jurisdiction to prescribe, adapun kewenangan untuk menegakkan atau menerapkan ketentuan hukum nasionalnya terhadap peristiwa, kekayaan danperbuatan dikenal sebagai jurisdiction to enfore. Dengan jurisdiction to prescribe Negara bebas untuk merumuskan materi ketentuan HN-nya, juga untuk menyatakan bahwa ketentuan tersebut berlaku secara ekstrateritorial, maka beberapa penulis lain justru menekankan pentingnya perbedaan antara prescriptive jurisdiction dengan enforcement jurisdiction. Kewenangan Negara untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum dikenal sebagai jurisdiction to prescribe.
Adapun berkaitan dengan jurisdiction to enforce Negara tidak dapat secara otomatis memaksakan ketentuan hukum yang telah dirumuskannya di luar wilayah negaranya. Hal ini dikarenakan oleh adanya prinsip Par in parem non habet imperium yang melarang suatu Negara yang berdaulat melakukan tindakan kedaulatan di dalam wilayah Negara lain. Dalam kasus Lotus 1927 Mahkamah Internasional Permanen (PJIC) dinyatakan bahwa suatu Negara tidak dapat melaksnakan segala bentuk kekuasaannya di wilayah Negara lain. Dengan kata lain, kecuali ditentukan lain, Negara A tiak dapat melaksanakan yurisdiksinya di Negara B.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa bila Negara memiliki kekuasaan penuh di bawah hukum internasional to prescribe jurisdiction, namun pelaksanaan prescriptive jurisdiction tersebut terbatas hanya di wilayah teritorialnya saja. Penggunaan kekuatan polisi, eksekusi putusan pengadilan nasional, tidak dapat dilakukan di wilayah Negara lain, kecuali diperjanjikan secara khusus oleh pihak-pihak terkait. Contoh yang jarang terjadi adalah perjanjian antara UK dan Belanda 1999 yang mengizinkan persidangan kasus Lockerbie diselenggarakan oleh Pengadilan Scotlandia, menggunakan hukum Scotlandia, di wilayah Belanda. Kesemuanya ini sebenarnya senada dengan yang dikemukakan oleh Muchtar Kusumaatmadja bahwa kedaulatan Negara berakhir ketika dimlai wilayah Negara lain. Kedaulatan Negara dibatasi oleh hukum internasional dna kepentingan Negara lain.
Penerapan yurisdiksi menjadi masalah hukum internasional bila dalam suatu kasus ditemukan unsur asing. Misalkan saja kewarganegaraan pelaku dan/atau korban warga Negara asing., atau tempat perbuatan atau peristiwa terjadi di luar negeri. Dalam kasus yang kompleks bisa tersangkut banyak unsure asing, misalkan saja dalam kasus pembunuhan yang dilakukan Oki, seorang mahasiswa WNI terhadap dua WNI lainnya dan WN India di New York tahun 1995. Kasus ini menyangkut tiga Negara. Semua Negara mengklaim memiliki yurisdiksi terhadap si pembunuh, tetapi hanya ada satu Negara yang akan mengadilinya. Seorag pelaku kejahatan tentu tidak dapat diadili untuk kedua kalinya dalam perkara dan tuntutan yang sama. Negara tempat dimana pelaku ditemukan memiliki kesempatan terbesar untuk menerpkan yurisdiksinya. Meskipun demikian, belum tentu Negara tersebut mau menerapkan yurisdiksinya. Dalam kasus mahasiswa Indonesia di atas meskipun pelaku ditangkap di New York, tetapi atas permintaan pemerintah Indonesia, AS mengektradisikan pelaku ke Indonesia.
Dalam kaitannya dengan klasifikasi beberapa penulis hukum internasional telah mencoba untuk membuat beberapa kualifikasi. Berdasarkan objeknya (hal, masalah, peristiwa, orang dan benda), yurisdiksi Negara dibedakan menjadi yurisdiksi personal, yurisdiksi kebendaan, yurisdiksi criminal, yurisdiksi perdata, dan yurisdiksi eksklusif. Adapun berkaitan dengan ruang atau tempat objek atau masalah yang bukan semata-mata masalah domestic maka yurisdiksi Negara dapat dibedakan menjai yurisdiksi territorial, quasi territorial, ekstrateritorial, universal dan eksklusif.
2.2       Prinsip-Prinsip Yurisdiksi dalam Hukum Internasional
            Secara garis besar yurisdiksi pengadilan (judicial jurisdiction) mencakup perdata dan pidana. Yurisdiksi perdata adalah kewenangan hokum pengadilan suau Negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut keperdataan baik yang sifatnya perdata biasa (nasional), maupun yang bersifat perdata internasional di mana ada unsur-unsur asing dalam kasus tersebut baik menyangkut para pihak, objek yang disengketakan maupun tempat perbuatan dilakukan. Adapun yurisdiksi pidana adalah kewenangan hokum pengadilan suatu Negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut kepidanaan baik yang murni nasional maupun yang terdapat unsure asing di dalamnya.
            Hokum internasional public tidak banyak membuat aturan atau pembatasan berkaitan dengan kasus-kasus perdata internasional. Hokum internasional public lebih memfokuskan diri pada yurisdiksi pengadilan yang berkaitan dengan kasus-kasus pidana internasional. Sepanjang menyangkut perkara pidana ada beberapa prinsip yurisdiksi yang dikenal dalam hokum internasional yang dapat digunakan oleh Negara untuk mengklaim dirinya memiliki judicial jurisdiction. Adapun prinsip-prinsip tersebut ialah :
1.      Prinsip Yurisdiksi Teritorial
Menurut prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah atau teritorialnya. Dibandingkan prinsi-prinsip lain, prinsip territorial merupakan prinsip yang tertua, terpopuler dan terpenting dalam pembahasan yurisdiksi dalam HI. Menurut Hakim Loed Macmillan, suatu Negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang, benda dan perkara-perkara perdata dan pidana dalam batas-batas territorialnya sebagai pertanda Negara  tersebut berdaulat. Pengadilan Negara di mana suatu kejahatan dilakukan memiliki yurisdiksi terkuat dengan pertimbangan:
a.       Negara dimana kejahatan dilakukan adalah Negara yang ketertiban sosialnya paling terganggu;
b.      Biasanya pelaku ditemukan  Negara dimana kejahatan dilakukan;
c.       Akan lebih mudah menemukan saksi dan bukti-bukti sehingga proses persidangan dapat lebih efisien dan efektif;
d.      Sesroang WNA yang dating ke wilayah suatu Negara dianggap menyerahkan diri pada system HN Negara tersebut, sehingga ketika ia melakukan pelanggaran HN di Negara yang ia datangi maka ia harus tunduk pada hokum stempat meskipun mungkin apa yang ia lakukan sah (lawful) menurut system HN negaranya sendiri.
Dengan demikian, ketika seorang WN Australia tertangkap basah menyimpan dan memperjualbelikan ganja di sebuah hotel Denpasar, Bali Indonesia dapat menerapkan yurisdiksi teritorialnya terhadap orang tersebut.
Meskipun penting, kuat dan popular, penerapan yurisdiksi territorial tidaklah absolute. Ada beberapa perkecualian yang diatur dalam HI dimana Negara tidak dapat menerapkan yurisdiksi territorialnya, meskipun suatu peristiwa terjadi di wilayahnya, beberapa perkecualian yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a.       Terhadap pejabat diplomatic negara asing
b.      Terhadap negara dan kepala negara asing
c.       Terhadap  kapal public negara asing
d.      Terhadap organisasi internasional
e.       Terhadap pangkalan militer negara asing

2.      Prinsip Teritorial Subjektif
Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan kejahatan yang dimulai dari wilayahnya, tetapi diakhiri atau menimbulkan kerugian di Negara lain. Didekat perbatasan wilayah Indonesia-Malaysia, A yang berada di wilayah Indonesia menembak B yang berada di seberang perbatasan (wilayah Malaysia). Dalam kasus ini, Indonesia memiliki dasar untuk mengadili A berdasarkan prinsip territorial subjektif karena A melakukan kejahatan yang dimulai dari wilayah Indonesia meskipun kerugiannya timbul di wilayah Malaysia.
3.      Prinsip Teritorial Objektif
Berdasarkan prinsip ini sutau Negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan kejahatan yang menibulkan kerugian di wilayahnya meskipun perbuatan itu dimulai dari Negara lain. Prinsip territorial objektif muncul pertama dalam kasus Lotus, dimana kapal Prancis menabrak kapal Turki yang mengakibatkan kapal Turki tenggelam. Turki mengklaim memiliki yurisdiksi terhadap kapal Prancis karena menderita kerugian yang ditimbulkan oleh kapal (wilayah eksttrateriotrial) Prancis. Dalam kasus A di atas, Malaysia juga dapat mengklaim memiliki yurisdiksi untuk mengadili A karena telah menimbulkan kerugian yaitu tertembaknya B di wilayah Malaysia, meskipun penembakan dilakukan A dari wilayah Indonesia.
4.      Prinsip Nasionalitas Aktif
Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap warga yang melakukan kejahatan di luar negeri. Indonesia memiliki yurisdiksi untuk mengadilil TKI yang membunuh majikannya di Arab Saudi atas dasar prinsip ini. Dalam praktik sering terjadi klaim yang tumpang tindih dari beberapa Negara karena pelaku kejahatan memiliki kewarganegaraan ganda. Karenanya sangat penting bagi suatu Negara untuk membuat aturan tegas siapa yang berhak mendapatkan kewarganegaraan di negaranya.
5.      Prinsip Nasionalitas Pasif
Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap warganya yang menjadi korban kejahatan yang dilakukan orang asing di luar negeri. Dengan prinsip ini maka Indonesia akan memiliki yurisdiksi berdasarkan prinsip nasionalitas pasif terhadap Philip (Warga Filipina) yang membunuh Soni (Warga Indonesia) di Thailand. Dalam kasus US v Yunis 1989, Amerika mengadili Yunis, warga Libanon yang dituduh terlibat pembajakan pesawat Yordania di Timur Tengah atas dasar prinsip nasionalitas pasif. Beberapa warga AS yang ada dalam pesawat Yordania itu menjadi korban perbuatan Yunis.
6.      Prinsip Universal
Berdasarkan prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku kejahatan internasional yang dilakukan dimanapun tanpa memperhatikan kebangsaan pelaku maupun korban. Alas an munculnya prinsip ini adalah bahwa pelaku dianggap orang yang sangat kejam, musuh seluruh umat manusia, jangan sampai ada tempat untuk pelaku meloloskan diri dari hukuman, sehingga tuntutan yang dilakukan oleh suatu Negara terhadap pelaku adalah atas nama seluruh masyarakat internasional.
Yurisdiksi universal dalam hokum internasional bertujuan untuk memproses fenomena pengampunan (impunity) bagi orang-orang tertentu. Pelaku serious international crime tanpa di bawah hokum internasional yang menikmati impunity bebas bepergian ke suatu tempat yang diinginkannya setelah ia melakukan serious international crime tanpa bisa dimintai pertanggungjawaban bahkan hanya untuk sekedar diinvestigasi.
Yurisdiksi universal adalah yurisdiksi yang bersifat unik dengan beberapa cirri menonjol sebagai berikut:
a.       Setiap Negara berhak untuk melaksanakan yurisdiksi universal. Frase “setiap negara” mengarah hanya padanegara yang merasa bertanggung jawab untuk turut serta secara aktif  menyelamatkan masyarakat internasional dari bahaya yang ditimbulkan oleh serious crime, sehingga merasa wajib untuk menghukum pelakunya. Rasa bertanggung jawab tersebut harus dibuktikan dengan tidak adanya niat untuk melindungi pelaku dengan memberikan safe heaven dalam wilayah negaranya.
b.      Setiap Negara yang ingin melaksanakan yurisdiksi universal tidak perlu mempertimbangkan siapa dan berkewarganegaraan apa pelaku juga korban dan dimana serious crime dilakukan. Dengan kata lain dapat dikatakan tidak diperlukan titik pertautan antara Negara yang akan melaksanakan yurisdiksinya dengan pelaku, korban dan tempat dilakukannya kejahatan itu sendiri. Satu-satunya pertimbangan yang diperlukan adalah apakah pelaku berada di wilayahnya atau tidak? Tidak mungkin suatu Negara bisa melakansakan yurisdiksi universal bia pelaku tidak berada di wilayahnya. Akan merupakan pelanggaran hokum internasional bila Negara memaksa menangkap seseorang yang berada di wilayah Negara lain.
c.       Setiap Negara hanya dapat melaksanakan yurisdiksi universalnya terhadap pelaku serious crime atau yang lazim disebut internastional crime.
Berdasarkan karakteristik sebagaimana dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya yurisdiksi yang berpotensi untuk mengisi kekosongan hokum dalam pelaksanaan yurisdiksi terhadap tindak-tindak pidana internasional. Hakikat yurisdiksi universal berbeda dengan yurisdiksi yang lain karena tidak memerlukan titik pertautan antara Negara yang melaksanakan yurisdiksinya dengan pelaku, korban, dan tindak pidana itu sendiri. Kekosongan hokum dapat diatasi dengan diberikannya wewenang oleh hokum internasional kepada setiap Negara untuk melaksanakan yurisdiksi universal.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, selama ini yurisdiksi universal hanya dapat diterapkan dalam kasus-kasus international crime menurut hakim Supreme Court Amerika Serikat dalam Hostage Case adalah :
“an international crime is such an act universally recognized as criminal, which is considered as agrave matter of international concern and for some valid reason cannot be left within the state that would have control over it under normal circumatances”
Dengan demikian, untuk menjadi international crime harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
a.       Perbuatan itu diakui universal sebagai tindak pidana, sudah dirumuskan sebagai tindak pidana dalam semua system hokum pidana di semua Negara. Semua Negara mengutuk (condemn) perbuatan itu dan menentukan hukumannya yang layak.
b.      Tindak pidana itu harus memenuhi criteria tertentu sebagai international crime, yaitu bahwa pelakunya merupakan musuh umat manusia dan tindakannya bertentangan dengan kepentingan umat manusia sehingga penegakan hokum internasionalnya harus dilakukan, dengan melalui hokum kebiasaan internasional maupun perjanjian internasional, dengan menghukum pelakunya.
c.       Arena sifatnya yang sangat membahayakan masyarakat internasional maka sangat beralasan untuk tidak hanya memberikan yurisdiksi pada suatu Negara saja yang jika dalam keadaan normal memang berhak untuk melaksanakannya.
Hukum internasional klasik menyebutkan kejahatan perang (war crime) dan piracy sebagai kejahatan internasional yang kepadanya dapat diterapkan yurisdiksi universal. Pasal 404 Restatement (Third) of the Foreign Relations Law of United States menyebutkan yurisdiksi universal diberlakukan terhadap piracy, perdagangan budak, attack or hijacking of aircraft, genocide, war crimes dan terrorism. ICTY memasukkan pelanggaran berat Konvensi Jenewa 1949, pelanggaran hokum atau kebiasaan perang, genocide, dan kejahatan kemanusiaan sebagai kejahatan internasional yang memerlukan yurisdiksi universal. Yurisdiksi ICTR mencakup genocide, kejahatan kemanusiaan, pelanggaran pasal 3 bersama Konvensi Geneva dan Protokol Tambahan II 1977. Adapun Statuta ICC menyebutkan genocide, war crime, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan agresi sebagai yurisdiksinya.
7.      Prinsip Perlindungan
Berdasarka  prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi trehadap orang asing yang melakukan yurisdiksi terhadap orang asing yang melakukan kejahatan yang sangat serius yang mengancam kepentingan vital Negara, keamanan, integritas dan kedaulatan, serta kepentingan vital ekonomi Negara. Beberapa contoh kejahatan yang masuk yurisdiksi perlindungan antara lain spying, plots to overthrow the government, forging currency, immigration and economic violation.
Meskipun dipraktikan di beberapa HN Negara seperti halnya Prancis, Inggris, dan lain-lain termasuk Indonesia, namun prinsip ini terkadang dipandang  sangat berbahaya karena dapat diinterpretasikan dengan sangat luas oleh suatu Negara untuk mengadili seseorang atas dasar prinsip perlindungan bagi negaranya. Beberapa Negara barat menggunakan prinsip ini dalam kasus perdagangan obat-obat terlarang juga terorisme. Adapun Indonesia menyatakan dalam Kitab Undang-undang Hukum PIdananya bahwa Indonesia memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang ada di luar negeri yang melakukan tindakan mengancam dan kepentingan vital ekonomi Indonesia.
2.3       Penerapan Yurisdiksi Ektrateritorial
            Hokum internasional memang tidak mengatur secara detail pembatasan-pembatasan yurisdiksi suatu Negara, kecuali apa yang telah dikenal dalam prinsip-prinsip yurisdiksi hokum internasional, misalnya bahwa suatu Negara tidak akan menjalankan yurisdiksinya terhadap orang, benda atau perbuatan yang tidak ada sangkut paut dengan negaranya. Namun demikian, seandainya  ada suatu Negara (Negara A) menyatakan bahwa penerapan yurisdiksi dari Negara B melanggar hokum internasional, maka Negara A harus membuktikan dimana letak pelanggaran yang telah dilakukan Negara B.
            Dalam kaitannya dengan hal ini pertanyaan yang sering muncul adalah apakah suatu Negara (Negara C) bisa menerapkan yurisdiksi extraterritorial-nya terhadap subjek hokum asing (Negara D) yang melakukan perbuatan di luar wilayah Negara C. Yurisdiksi ekstrateritorial digunakan beberapa Negara berlandaskan kepentingan nasional, khususnya kepentingan nasional, khususnya kepentingan bisnis mereka. Sebagai contoh dapat dikemukakan jika dua perusahaan asing membuat perjanjiandi luar negeri untuk mengoordinasikan kebijakan harga barang-barang yang mereka pasarkan di wilayah Negara X dapatkah dikatakan bahwa  perjanjian ii melanggar hokum nasional Negara X atas dasar merugikan kepentingan Negara X.
            Undang-undang anti monopoli Amerika Serikat, Sherman Act, yang pertama kali dibuat tahun 1890 adalah contoh riil undang-undang nasional yang menerapkan yurisdiksi ekstrateritorial. UU ini menetapkan bahwa semua perjanjian, persekongkolan, dan konspirasi dalam pembatasan usaha bidang perdagangan, baik di dalam maupun luar negeri, yang mencoba memonopoli adalah bertentangan dengan hokum Amerika Serikat (AS).
            Yurisdiksi ekstrateritorial mengundang controversial khususnya dari sudut pandang yurisdiksi territorial karena tidak ada direct and immediate link between the initiation and complection of the act sebagaimana ditemukan dalam kasus Lotus yang menerapkan yursdiksi tertorial objektif.   
            Contoh kasus penggunaan yurisdiksi ekstrateritorial antara lain dalam kasus American Banana Co. Dalam kasus ini penggugat adalah warga Negara AS, pemilik perkebunan pisang di Costarica, sedangkan tregugat adalah pemilik United Fruit Co. Tuntutan yang diajukan adalah bahwa tergugat telah melanggar Sherman Act dengan cara membujuk pemerintah Costaria untuk merampas tanah milik perkebunan Banana Co. Mahkamah Agung AS memutuskan bahwa Sherman Act tidak dapat diterapkan terhadap United Fruit Co atas kegiatannya yang dilakukan di luar negeri bila kegiatan tersebut tidak melanggar hokum Costarica. Pelanggaran terhadap hokum As di luar negeri tidak dapat dijadikan dasar tuntutan di pengadilan AS apabila tindakan tersebut tidka bertentangan dengan hokum nasionall dimana perbuatan itudilakukan.
            Dalam kasus Alcoa 1945, Pemerintah AS telah menggugat perusahaan Alcoa dan aluminium Ltd berdasarkan Sherman Act dimana tergugat dituduh telah bersekongkol dengan berbagai perusahaan asing (Swiss, Jerman, Inggris) untuk menghambat perdagangan domestic maupun luar negeri AS dalam hal produksi dan penjualan aluminium. Perkara ini sudah menjadikan preseden yurisdiksi ekstrateritorial yang sangat popular. Pengadilan banding AS dalam putusannya menetapkan bahwa kongres tidak dapat menerapkan Sherman Act apabila :
1.      Tidak ada maksud untuk menimbulkan akibat terhadap perdagangan AS;
2.      Tidka mempunyai akibat terhadap perdagangan AS;
Apabila kedua syarat itu terpenuhi maka Sherman Act dapat diterapkan sekalipun kegiatannya dilakukan di luar wilayah AS.   
Masih terkait dengan penerapan yurisdiksi ekstrateritorial, AS juga menerapkan effect doctrine melalui US anti-trust legislation. Effect doctrine diterapkan pertama kali dalam kasus US v Aluminium Co of America tahun 1945. Dalam kasus ini dipertanyakan apakah perusahaan Canada dapat dimintai pertanggungjawaban di bawah US anti trust legislation atas kebajikannya menetapkan harga barang yang mereka pasarkan di AS.  Pengadilan AS menyatakan dirinya memiliki judicial jurisdiction terhadap perusahaan Canada tersebut atas dasar effect doctrine, bahwa tindakan Perusahaan Canada memberikan efek, merusak persaingan di AS.
Selain AS, penerapan yurisdiksi ekstrateritorial juga diterapkan oleh pengadilan Eropa (ECJ) berkaitan dengan penerapan EC Competition Law dalam kasus Wood Pulp. Dalam kasus ini muncul kontroversi seputar dua hal menyangkut yurisdiksi ECJ dan substansi tuntutan. Dalam kasus ini pengadilan pengadilan menetapkan bahwa lebih dari 42 supplier of wood pulp melanggar European Community Competition Law. Perusahaan-perusahaan tersebut 11 perusahaan AS, 6 Canada, 11 Swedia, 11 Finlandia, 1 Norwegia, 1 Spanyol, dan 1 Portugal. Perusahaan-perusahaan Non EC ini menjual barang mereka ke Eropa lewat berbagai cara seperti agen, cabang, dan anak perusahaan yang berada di Eropa.
Pelaksanaan yurisdiksi ekstrateritorial sering menimbulkan banyak masalah. Investasi cabang perusahaan yang ada di luar negeri misalnya, akan memerlukan kerja sama dari otoritas yang berwenang demikian halnya berkaitan dengan enforcement jurisdiction putusan pengadilan. Negara lain tidak memiliki kewajiban untuk membantu atau bekerja sama dengan otoritas asing berkaitan dengan pengakuan pelaksanaan putusan asing tersebut.
2.4              Bentuk Kerja Sama Antarnegara Dalam Penerapan Yurisdiksi
Kedaulatan Negara hanya dapat dilakasanakan di wilayah atau teritorialnya dan akan berakhir ketika sudah dimulai wilayah atau territorial Negara lain. Meskipun suatu Negara memiliki judicial jurisdiction atau kewenangan untuk mengadili seseorang berdasarkan prinsip-prinsip yurisdiksi dalam hokum internasional, namun tidak begitu saja Negara dapat melaksanakannya (enforcement jurisdiction) ketika orang tersebuut sudah melarikan diri ke Negara lain. Demikian pula berlaku terhadap seorang terpidana yang berhasil kabur dari tahanan, Negara tidak bisa langsung menangkapnya lagi ketika si terpidana berhasil kabur ke luar negeri. Untuk  itulah dalam tata kra pergaulan internasional dibutuhkan permohonan ekstradisi dari Requesting State  kepada Requested State. Dengan demikian, keterbatasan kedaulatan territorial bisa  dijembatani melalui kerja sama dengan Negara-negara lainnya untuk proses penegakan hukumnya. Keberhasilan kerja sama penegakan hokum tersebut pada umumnya tidak akan menjadi kenyataan jika tidakada perjanjian bilateral maupun multilateral dalam penyerahan pelaku kejahatan atau dalam kerja sama penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Prasyarat perjanjian tersebut tidak bersifat mutlak karena tanpa ada perjanjian itupun kerja sama penegakan hokum dapat dilaksnakan berlandaskan asas resiprositas (timbal balik).
Kerja sama penerapan yurisdiksi atau penegakan hokum yang tertua adalah ekstradisi kemudian diikuti kerja sama penegakan hokum lainnya seperti, dengan “mutual assistance” (MLAT’s); “transfer of sentenced person” (TSP); “transfer of criminal proceedings” (TCP), dan “joint investigation” serta “handing over”
            Pemerintah Indonesia telah memiliki “undang-undang payung” (umbrella act) untuk ekstradisi dengan undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, dan untuk kerja sama penyidikan dan penuntutan, termasuk pembekuan dan penyitaan asset, dengan Undang-undang No 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (mutual assistance in criminal matters). Perbedaan kedua bentuk perjanjian kerja sama penegakan hokum tersebut adalah, bahwa  perjanjian ekstradisi untuk tujuan penyerahan orang (pelaku kejahatan), sedangkan perjanjian MLTA’s untuk tujuan perbantuan dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang peradilan pidana termasuk pengusutan, penyitaan dan pengembalian asset hasil kejahatan. Permintaan penyerahan pelaku kejahatan (ekstradisi) tidak serta merta merupakan pengembalian asset hasil kejahatan yang dibawa pelaku kejahatan yang bersangkutan. Kedua bentuk perjanjian tersebut harus saling melengkapi dan bukan dilihat secara terpisah. Hal ini berarti permintaan ekstradisi wajib dilengkapi dengan permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana terutama pengusutan dan pengembalian aset kejahatan dari pelaku kejahatan yang bersangkutan.
            Ekstradisi menurut pasal 1 UU 1/1979 tentang Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu Negara kepada Negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu tindak pidana di luar wilayah yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah Negara yang meminta penyerahan tersebut. Pengertian ini pada dasarnya sama dengan pengertian yang terdapat dalam Black Law Dictionary yaitu the surrender by one state or country to anotherof an individual accused or convicted of an offense outside its own territory and within the territorial jurisdiction of the other, which, being competent to try and punish him, demand the surrender. Senada dengan pengertian tersebut I Wayan Pathiana menegaskan bahwa Ekstradisi adalah penyerahan secara formal berdasarkan perjanjian, prinsip resirositas/ hubungan baik antarnegara. Atas seseorang (tersangka, terrtuduh, terdakwa, terpidana) oleh Negara. Tempat orang tersebut melarikan diri / bersembunyi (Requested State) kepada Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili hukumnya atas permintaan dari Negara tersebut (Requesting State) dengan tujuan untuk diadili atau dilaksanakan hukumnya. Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ekstradisi adalah penyerahan secara formal seseorang baik dalam statustersangka, terdakwa, atau trepidana dari Negara diminta ke Negara yang meminta untuk diadili atau dilaksanakan hukumannya. Ekstradisi dapat dilakukan melalui perjanjian maupun atas dasar hubungan baik kedua Negara.
            Perjanjian ekstradisi  sangat dibutuhkan saat ini seiring dengan meningkatnya kualitas maupun kuantitas kejahatan khususnya kejahatan transnasional dan terorisme. Keberadaan istrumen hokum internasional ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan jangkauan da kemampuan penegakan hokum pidana nasional secara umum.
            Perjanjian ekstradisi tumbuh dari praktik Negara-negara yang kemudian menjadi hokum kebiasaan internasional. Pada umunya perjanjian-perjanjian ekstradisi akan memuat sebagai prinsip-prinsip berikut :
1.      Prinsip kejahatan ganda
2.      Prinsip kekhususan / spesialitas
3.      Prinsip tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik
4.      Prinsip tidak menyerahkan WN sendiri
5.      Prinsip Ne bis in idem
6.      Prinsip kadaluwarsa
Prinsip-prinsip di atas sudah terwadahi dalam instrument hokum nasional yaitu UU No 1/1979 tentang ekstradisi. Di samping hokum nasional yang bersumberkan pada hokum intetrnasional, saat ini PBB juga sudah mengeluarkan instrument khusus yang menjadi panduan dalam pembuatan perjanjian ekstradisi yaitu Model Treaty on Extradition. Model ini bisa diterapkan baik dalam perjanjian bilateral maupun internasional.










BAB 3
PENUTUP
3.1              Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa bila Negara memiliki kekuasaan penuh di bawah hukum internasional to prescribe jurisdiction, namun pelaksanaan prescriptive jurisdiction tersebut terbatas hanya di wilayah teritorialnya saja. Penggunaan kekuatan polisi, eksekusi putusan pengadilan nasional, tidak dapat dilakukan di wilayah Negara lain, kecuali diperjanjikan secara khusus oleh pihak-pihak terkait. Contoh yang jarang terjadi adalah perjanjian antara UK dan Belanda 1999 yang mengizinkan persidangan kasus Lockerbie diselenggarakan oleh Pengadilan Scotlandia, menggunakan hukum Scotlandia, di wilayah Belanda. Kesemuanya ini sebenarnya senada dengan yang dikemukakan oleh Muchtar Kusumaatmadja bahwa kedaulatan Negara berakhir ketika dimlai wilayah Negara lain. Kedaulatan Negara dibatasi oleh hukum internasional dan kepentingan Negara lain.
Dalam kaitannya dengan klasifikasi beberapa penulis hukum internasional telah mencoba untuk membuat beberapa kualifikasi. Berdasarkan objeknya (hal, masalah, peristiwa, orang dan benda), yurisdiksi Negara dibedakan menjadi yurisdiksi personal, yurisdiksi kebendaan, yurisdiksi criminal, yurisdiksi perdata, dan yurisdiksi eksklusif. Adapun berkaitan dengan ruang atau tempat objek atau masalah yang bukan semata-mata masalah domestic maka yurisdiksi Negara dapat dibedakan menjai yurisdiksi territorial, quasi territorial, ekstrateritorial, universal dan eksklusif.
Secara garis besar yurisdiksi pengadilan (judicial jurisdiction) mencakup perdata dan pidana. Hokum internasional public lebih memfokuskan diri pada yurisdiksi pengadilan yang berkaitan dengan kasus-kasus pidana internasional. Sepanjang menyangkut perkara pidana ada beberapa prinsip yurisdiksi yang dikenal dalam hokum internasional yang dapat digunakan oleh Negara untuk mengklaim dirinya memiliki judicial jurisdiction. Adapun prinsip-prinsip tersebut ialah :
1.      Prinsip yurisdiksi territorial
2.      Prinsip territorial subjektif
3.      Prinsip territorial objektif
4.      Prinsip nasionalitas aktif
5.      Prinsip nasionalitas pasif
6.      Prinsip universal
3.2       Saran
      Dari uraian di atas, secara singkat dapat dikemukakan disini bahwa masih ada rasa was-was atau perasaan belum yakin untuk mengandalkan secara penuh yurisdiksi Negara dalam Hukum Intrtenasional. Perbaikan penegakan hukum, SDM, perubahan kultur harus terus-menerus dibenahi. Selagi pembenahan berjalan, tampaknya dewasa ini upaya-upaya yang efektif untuk menerapkan yurisdiksi Negara dalam hokum internasional  adalah agar para pihak mencoba dengan sungguh-sungguh supaya hal tersebut dapat diterapkan dengan baik dan sesuai aturan hokum yang berlaku.






[1]  Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, hal 232.
[2] Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, hal 232-233.

[3] Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, hal 233-234.


1 komentar:

  1. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS, BERKAT BANTUAN BPK PRIM HARYADI SH. MH BELIAU SELAKU KETUA PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A)

    Assalamu'alaikum sebelum'nya saya ingin publikasi kisah cerita sukses saya bebas dari jeratan hukum, sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah sala satuh NAPI yang terdakwah dengan pasal 338 KUHP dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A , dan keluarga saya itu pernah cerita kepada ketua panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 338 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk PRIM HARYADI SH.MH Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau untuk saya jelas'kan masalah yang saya hadapi, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk prim haryadi SH. MH beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk DR Prim Haryadi SH.MH 📞 0853-2174-0123. Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk prim haryadi semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus

 

ISHMA ALHAMID Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template