Dengan Idul
Fitri Kita Rajut Ukhuwah
Hadirin,
jama’ah idul fitri yang dimuliakan Allah.
Pertama-tama, marilah
kita panjatkan puji syukur ke haribaan Allah SWT, karena untuk kesekian kalinya
kita diberi kekuatan oleh Allah untuk menjalankan ibadah puasa, dan di pagi
hari ini kita bertemu dengan idul fitri. Gema takbir, tahmid dan tahlil yang
berkumandang menyambut datangnya peristiwa yang mengharu-biru ini.
Bagi umat Islam,
Idul fitri merupakan peristiwa spiritual yang tak ternilai harganya. Alangkah bahagia
dan gembiranya kita, yang telah sebulan penuh diberi rahmat oleh Allah SWT. Dapat
melaksankan puasa dengan baik dan tuntas, kemudian dilanjutkan dengan kewajiban
zakat fitrah. Puncak kebahagiaan itu adalah hari raya idul fitri. Itu tidak
lain karena kita semua telah kembali kepada posisi fitrah. Yaitu sebuah
fase di mana manusia kembali kepada asal kejadiannya. Suci tak bernoda, laksana bayi yang baru terlahir.
Untuk
mencapai kesempurnaan idul fitri, marilah kita saling memaafkan atas dosa yang
telah kita perbuat. Menghapus kealpaan yang terlanjur mengemuka. Melenyapkan
buruk sangka yang ada. Serta menyingkirkan butir-butir dendam yang menyesakkan
dada. Mudah-mudahan dengan itu semua, predikat muttaqin dapat kita raih. Sebagaimana firman Allah SWT:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
(orang
muttaqin itu adalah) mereka yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang
maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan
(kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Ali Imran,
134)
Oleh karena itu, Idul fitri bukan sekedar
peristiwa shalat dan salam-salaman, yang gampang hilang begitu matahari
tenggelam. Hari kemenangan ini menjadi sempurna kalau dijadikan ajang untuk memperbaiki
diri, baik kepada Allah maupun kepada sesame. Sehingga momentum idul fitri akan
tetap menggaung dalam kehidupan kita sepanjang masa.
Jama’ah shalat Id yang diberkahi
Allah SWT
Satu hal penting yang bisa didapat
dari idul fitri, yaitu seruan untuk membangun ukhuwah, merajut persaudaraan
abadi sebagai tindak lanjut dari salam-salaman dan saling maaf.
Untuk itu, setelah Idul Fitri
berlalu, ada beberapa hal yang harus terus dijaga agar ukhuwah yang telah terbangun,
kerukunan yang tercipta pada hari yang
fitri ini dapat berjalan sepanjang masa.
Pertama adalah menebar kasih sayang dan
perdamaian kepada seluruh ummat. Firman
Allah SWT
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا
بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
Sesungguhnya orang-orang mu'min
adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (QS.
Al-Hujurat, 10)
Islam sangat menganjurkan agar
kelemah-lembutan dan kasih sayang selalu ditebarkan dalam setiap pergaulan. Nabi
Muhammad SAW bersabda:
عن أنس ابن مالك، قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم: ليس منا من لم يرحم صغييرنا ويوقر كبيرنا
(رواه الترمذي وأحمد)
“Dari Anas bin
Malik, Rasulullah SAW bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak
sayang kepada yang lebih muda dari kami dan orang yang tidak hormat kepada yang
lebih tua dari kami”.
Ada dua kalimat
yang patut menjadi perhatian dari hadits diatas. Pertama adalah yarham
atau kasih sayang yang lebih tua kepada generasi muda, dan kedua adalah yuwaqqir
atau penghormatan dari anak muda kepada orang tua. Secara redaksional, hadits
itu menempatkan kata yarham sebelum yuwaqqir. Ini menunjukkan bahwa yang lebih
tua harus lebih dulu memberi contoh kepada yang muda dengan berlaku lembut,
kasih sayang, dan sebagainya.
Kasih sayang
dan rasa hormat adalah dua hal yang saling terkait. Kasih sayang yang
ditunjukkan senior, otomatis akan melahirkan rasa respek bagi si yunior. Dari
kasih dan hormat itulah, kerukunan dan kedamaian akan tercipta.
Ketika yang
muda melakukan kesalahan, maka bimbinglah. Bukan dicaci
maki atau divonis. Dan manakala yang muda sudah berlaku baik, apalagi
berpretasi, maka tak ada salahnya yang
lebih tua memberikan apreasiasi secara proporsional. Bahkan segera memberikan
dukungan maksimal sesuai kemampuan yang dimiliki.
Begitu pula yang seharusnya ditunjukkan oleh atasan kepada bawahannya,
seorang bos kepada karyawannya, seorang majikan kepada pambantunya. Sebagaimana
contoh dari Rasulullah SAW yang tidak pernah sekalipun mengeluarkan kata kasar
atau memarahi pelayannya. Sebuah contoh ideal dari seorang pemimpin.
Penghormatan dan penghargaan akan terbangun subur manakala di dalam
suatu interaksi terbangun rasa saling percaya. Tidak memiliki fikiran negartif
kepada orang lain. Enggan mencari-mencari kesalahan orang lain. Atau menganggap orang lain sebagai lawan, kemudian
menjegal sana sini, dengan menghalalkan segala macam cara. Firman Allah SWT:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا
تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya
sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan
orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. (QS. al-Hujurat, 12)
Kita patut prihatin bahwa dewasa ini
kasih sayang dan rasa hormat seolah sudah jadi barang langka. Kita hampir tiap
hari disuguhi tontotan layar kaca yang menggambarkan perlakuan kasar seorang
bapak kepada anaknya, bahkan ada yang sampai hati menjual atau bahkan membunuh
darah dagingnya sendiri. Dan tak jarang pula, anak mendurhakai orang tuanya,
malah berani menggorok leher ayahnya. Atau pembantu membunuh majikannya
sendiri.
Di luar lingkup keluarga, kekerasan
juga masih menjadi tontotan harian. Hanya karena persoalan sepele,
karena berbeda keyakinan dan organisasi, orang sampai hati menganiaya orang
lain yang nota bene sesama muslim. Di
lingkup politik, juga tak kalah hebatnya. Keinginan untuk merebut kekuasaan,
kerap kali mengorbankan kerukunan, bahkan hubungan kekerabatan yang telah lama
berurat-berakar, tiba-tiba harus terputus. Rasa hormat dan kasih sayang dikubur
dalam-dalam demi sebuah ambisi politik.
Jama’ah shalat
Id rahimakumullah
Kedua, tidak mengejek,
menghujat, atau memaki orang lain, baik dengan sindiran, atau apalagi langsung.
عن
علقمة عن عبد الله، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ليس المؤمن بالطعان ولا
اللعان ولا الفاحش ولا البذيء (رواه الترمذي)
Dari Alqomah bin Abdillah,
Rasulullah SAW bersabda, Bukanlah seorang mukmin, mereka yang suka memfitnah, suka melaknat,
mengeluarkan kata keji dan kata kotor”
Sebuah ejekan akan
menimbulkan efek berantai yang sulit dipadamkan. Orang yang diejek, pasti hatinya
terluka, perasaannya teriris. Dari situlah kerap timbul bara dendam. Selama luka di hati masih menganga, selama
itu pula segala cara dilakukan untuk memuntahkan dendam.
Baik atau buruk
perbuatan seseorang, bukanlah alasan pembenar untuk mengeluarkan hinaan atau
kata kotor kepada yang bersangkutan. Begitu pula perbuatan baik yang kita
lakukan kepada seseorang, tidak serta merta dapat menghalalkan kita untuk
menghinakan atau menjelek-jelekkan orang tersebut. Firman Allah SWT:
قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ
خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ
Perkataan yang baik dan pemberian ma`af lebih baik dari sedekah yang
diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan sipenerima). Allah Maha Kaya
lagi Maha Penyantun. (QS. al-Baqarah 263)
Dalam konteks
ini Luqman al-Hakim pernah berpesan, ”Ingatlah dua perkara dan lupakanlah dua
perkara. Perkara yang harus dingat itu adalah Allah SWT dan kematian. Sedangkan
dua yang harus dilupakan adalah kebaikan kita kepada orang lain serta kesalahan
orang lain kepada kita. ”
Tidak
seorangpun berhak untuk memberikan label buruk kepada seseorang. Karena pada
hakikatnya manusia adalah makhluk yang hina dan penuh dengan kekurangan. Semua
adalah kewenangan Allah SWT sebagai Dzat yang Maha Mengetahui serta Maha
menghinakan (al-Mudzillu). Tidak menutup kemungkinan orang yang hina
atau dihinakan oleh manusia, di hadapan Allah justru lebih baik dibanding orang-orang
yang mengejeknya. Allah telah mewanti-wanti dengan firman-Nya:
ياايُّهَا الَّذِيْنَ
آمَنُوا لاَ يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى اَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ
“Wahai orang-orang
yang beriman, janganlah suatu kaum mengejek atau mengolok-olok kaum yang lain, karena
boleh jadi mereka yang diejek lebih baik dari pada yang mengejek...” (al-Hujuraat,
11).
Bisa jadi seseorang yang oleh
manusia sudah dicap tidak baik, hina dina dan sebagainya, tapi dalam penilaian Allah
dia adalah seorang yang mulya. Sebaliknya, seseorang yang menurut penglihatan manusia
sudah begitu hebat karena kaya dan bertitel misalnya, namun menurut Allah boleh
jadi dia tidak bermartabat.
Oleh karena itu, Islam senantiasa mengajarkan
agar kita selalu mengoreksi diri, mengaca diri agar proses perbaikan diri tidak
stagnan. Firman Allah SWT:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ
بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan (mengoreksi) apa
yang telah diperbuatnya untuk (kebaikan) di hari esok (akhirat), dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (QS. Al-Hasyr 18)
Hadirin, jama’ah idul fitri yang
dimuliakan Allah.
Point ketiga yang harus kita perhatikan
adalah kepedulian sosial. Pelaksanaan
puasa tidak hanya sekedar terkait dengan fungsi penghambaan manusia terhadap
Allah, tapi juga bertautan dengan sisi kemanusiaan. Puasa melatih sensitifitas
sosial kita dalam mengarungi kehidupan. Sehingga ketika ramadhan berakhir, seharusnya
feeling sosial kita tambah tajam untuk mengendus penderitaan masyarakat yang tersembunyi
di balik gubug reot, di kolong jembatan dan bahkan di antara gedung-gedung
pencakar langit.
Pernahkah kita berpikir bahwa di
tengah kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah ini, masih banyak keluarga yang
nasibnya selalu berteman derita. Masih banyak orang yang kesulitan untuk
sekedar mencari sesuap nasi. Salah satu indikasinya, tiap hari kita menjumpai
pengemis, gelandangan dan peminta-minta. Kalau nurani kita tajam, tentu terenyuh menyaksikan mereka
menengadahkan tangan di jalan. Mereka jelas butuh kepedulian sekaligus uluran
tangan kita. Di situlah wujud nyata dari penggemblengan diri selama ramadlan.
Nabi Muhammad
SAW mencap orang yang hanya mementingkan diri sendiri sebagai orang yang tidak
beriman, seperti sabdanya:
عن ابن عباس قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم: ليس المؤمن الذي يشبع وجاره جائع إلى جنبه (رواه البيهقي )
“Dari Ibn Abbas, Rasulullah SAW
bersabda, “Tidaklah beriman orang yang kenyang, sementara tetangganya
kelaparan”.
Hadist tersebut menunjukkan bahwa
begitu pentingnya kita memperhatikan tetangga, sampai-sampai Nabi menghubungkan
kepedulian dengan keimanan. Karena itu, orang yang hanya mau kenyang sendiri, padahal
di kanan-kirinya masih banyak orang yang kelaparan, maka kwalitas keimanannya
perlu dipertanyakan.
Hadirin….
Tiga hal di atas, yaitu membudayakan
kasih sayang menghindari mengejek, dan memelihara kepekaan sosial adalah merupakan
kunci penting bagi terciptanya ukhuwah dan kerukunan abadi. Kerukunan adalah
modal utama menuju kehidupan yang damai, aman dan tentram. Inilah sebenarnya
yang menjadi tujuan manusia dalam mengarungi bahtera kehidupan, baik di dunia,
lebih-lebih di akhirat kelak.
Sebagai
manusia, tentu kita tak luput dari dosa dan khilaf. Tak ada doa besar jika terus
menerus dimintakan ampun. Tak ada dosa kecil bila senantiasa ditimbun. Sekali
lagi, marilah kita buka pintu maaf lebar-lebar.
Dari kata maaf itulah, kita bisa membangun kerukunan. Sebuah awal merajut
kedamaian yang sesungguhnya. Minal a’idzin, wal fa’izin. Kullu amin wa antum
bi khoir.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb….