KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Swt.
yang telah memberikan rahmat dan hidayah- Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Yurisdiksi Negara dalam Hukum
Internasional” ini dengan baik dan sesuai waktu yang direncanakan, walaupun dalam
pembahasan dan uraiannya masih sederhana. Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Hukum Internasional semester IV di Fakultas Hukum Universitas
Jember.
Penulis menyadari sepenuhya,
tanpa bantuan dan partisipasi dari semua pihak, baik moril maupun materiil,
penulisan makalah ini tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baik.Oleh karena
itu, sudah sepatutnyalah penulis sampaikan terima kasih kepada :
1. Ibu
Rini A. Anggraini S.H.,M.H. , Bapak Ida
Bagus Oka Ana, S.H.,M.H. dan Bapak Gautama B. Arundhati, S.H., M.H selaku dosen
pengajar mata kuliah Hukum Internasional yang dengan perantaranya, penulis
mendapatkan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat,
2. orang
tua dan keluarga penulis yang telah memberikan dukungan serta do’a yang tiada
henti,
3. teman-
teman yang telah memberikan semangat atau dorongan kepada penulis,
4. semua
pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Tiada gading yang tak retak,
begitu adanya penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu kritik dan saran yang konstruktif sangat diharapkan guna kesempurnaan makalah
ini. Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Tim Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………… i
DAFTAR ISI …………………………………………………………..… ii
BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………. 1
1.1
Latar Belakang………………………………………………. 1
1.2
Rumusan Masalah………………………………………….... 1
1.3
Dasar Hukum……………………………………………….. 1
BAB II. PEMBAHASAN…………………………………………………. 2
2.1
Pengertian Yurisdiksi Negara dalam Hukum Internasional …… 3
2.2 Prinsip
– prinsip Yurisdiksi dalam Hukum Internasional…………… 5
2.3 Penerapan
Yurisdiksi Ekstrateritorial………………….……….. 12
2.4 Bentuk
Kerjasama Antarnegara dalam Penerapan Yurisdiksi…. 14
BAB III. PENUTUP…..………………………………………………….. 18
3.1 Kesimpulan …………………………………………………… 18
3.2
Saran…………………………………………………………… 19
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 20
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tertib hukum
internasional dilandasi prinsip kedaulatan Negara. Setiap Negara merdeka
memiliki kedaulatan untuk mengatur segala sesuatu yang ada maupun yang terjadi
di wilayah atau teritorialnya. Sebagai implementasi dimilikinya kedaulatan,
Negara berwenang untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum dan untuk
menegakkan atau menetapkan ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya terhadap suatu
peristiwa, kekayaan dan perbuatan. Kewenangan ini dikenal sebagai yurisdiksi Negara
dalam hukum internasional.
Yurisdiksi
Negara dalam hokum internasional jelas berperan sangat penting dalam tiap-tiap
Negara, dengan demikian tiap Negara berwenang untuk menetapkan
ketentuan-ketentuan hokum nasionalnya terhadap suatu peristiwa, kekayaan dan
perbuatan apapun yang terjadi di wilayah atau teritorialnya.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut, masalah-masalah yang dibahas dapat dirumuskan sebagai
berikut :
1.
Apa
pengertian yurisdiksi negara dalam Hukum Internasional ?
2.
Apa
saja prinsip-prinsip yurisdiksi dalam Hukum International ?
3.
Bagaimana
penerapan yurisdiksi ekstrateritorial ?
4.
Bagaimana
bentuk kerja sama antarnegara dalam penerapan yurisdiksi ?
1.3 Dasar
Hukum
1.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Yurisdiksi Negara Dalam Hukum Intrenasional
Kata yurisdiksi (jurisdiction) berasal dari kata yurisdictio.
Kata yurisdictio berasal dari dua kata yaitu kata Yuris dan Diction.
Yuris berarti kepunyaan hukum atau kepunyaan menurut hukum. Adapun Dictio
berarti ucapan, sabda atau sebutan. Dengan demikian dilihat dari asal katanya
Nampak bahwa yurisdiksi berkaitan dengan masalah hukum, kepunyaan menurut hukum
atau kewenangan menurut hukum.[1]
Dalam
praktik kata yurisdiksi sering memiliki bebarapa arti seperti di pengadilan
Inggris dalam kasus custody of children sering dinyatakan bahwa para
pihak dilarang melakukan “out of the
jurisdiction of the court” terhadap anak-anak yang berarti melarang membawa
anak-anak keluar dari Inggris. Kata jurisdiction di sini berarti territory.
Dalam Piagam PBB sering digunakan istilah domestic jurisdiction yang
berarti kewenangan domestik. Meskipun demikian, dalam praktik, kata yurisdiksi
paling sering untuk menyatakan kewenangan yang dlaksanakan oleh Negara terhadap
orang, benda atau peristiwa. Menurut Wayan Parthiana, kata yurisdiksi berarti
kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki suatu badan peradilan atau badan-badan
Negara lainnya yang berdasarkan atas hukum yang berlaku. Bila yurisdiksi
dikaitkan dengan Negara maka akan berarti kekuasaan atau kewenangan Negara
untuk menetapkan dan memaksakan (to declare and to enfore) hukum yang
dibuat oleh Negara atau bangsa itu sendiri.[2]
Dalam
bahasa yang lebih sederhana Shaw mengemukakan bahwa yurisdiksi adalah
kompetensi atau kekuasaan hukum Negara terhadap orang, benda dan peristiwa hukum.
Yurisdiksi ini merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan Negara,
persamaan derajat Negara dan prinsip non intervensi.
Ada
tiga macam yurisdiksi yang dimiliki oleh Negara yang berdaulat menurut John
O’Brien, yaitu:
1.
Kewenangan
Negara untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum terhadap orang, benda, peristiwa
maupun perbuatan di wilayah teritorialnya (legislative jurisdiction or
prescriptive jurisdiction) ;
2.
Kewenangan
Negara untuk memaksakan berlakunya ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya (executive
jurisdiction or enforcement jurisdiction) ;
3.
Kewenangan
pengadilan Negara untuk mengadili dan memberikan putusan hukum (yudicial
jurisdiction).
Adalah penting
untuk membedakan antara ketiga yurisdiksi di atas. Menurut Akehurst, khususnya
membedakan antara yang kedua dengan yang ketiga. Contoh enforcement
jurisdiction adalah menangkap seseorang, menyita harta kekayaan dan
lain-lain. Enforcement jurisdiction menurut Akehurst merupakan powers
of physical interference exercised by the executive. Contoh enforcement
jurisdiction adalah menangkap seseorang, menyita harta kekayaan dan
lain-lain. Adapun contoh judicial enforcement adalah persidangan yang dilakukan
pengadilan suatu Negara berkaitan dengan orang, banda maupun peristiwa tertentu.[3]
Bila Akehurst
menekankan perbedaan antara enforcement jurisdiction dengan judicial
jurisdiction. Beberapa penulis lain seperti Martin Dixon dan Tien Saefullah
menggabungkan keduanya dalam enforcement jurisdiction. Dengan demikian,
menurut mereka keweangan Negara untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum
dikenal sebagai jurisdiction to prescribe, adapun kewenangan untuk
menegakkan atau menerapkan ketentuan hukum nasionalnya terhadap peristiwa,
kekayaan danperbuatan dikenal sebagai jurisdiction to enfore. Dengan jurisdiction
to prescribe Negara bebas untuk merumuskan materi ketentuan HN-nya, juga
untuk menyatakan bahwa ketentuan tersebut berlaku secara ekstrateritorial, maka
beberapa penulis lain justru menekankan pentingnya perbedaan antara prescriptive
jurisdiction dengan enforcement jurisdiction. Kewenangan Negara
untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum dikenal sebagai jurisdiction to
prescribe.
Adapun
berkaitan dengan jurisdiction to enforce Negara tidak dapat secara
otomatis memaksakan ketentuan hukum yang telah dirumuskannya di luar wilayah
negaranya. Hal ini dikarenakan oleh adanya prinsip Par in parem non habet
imperium yang melarang suatu Negara yang berdaulat melakukan tindakan
kedaulatan di dalam wilayah Negara lain. Dalam kasus Lotus 1927 Mahkamah
Internasional Permanen (PJIC) dinyatakan bahwa suatu Negara tidak dapat
melaksnakan segala bentuk kekuasaannya di wilayah Negara lain. Dengan kata
lain, kecuali ditentukan lain, Negara A tiak dapat melaksanakan yurisdiksinya
di Negara B.
Dari paparan di
atas dapat disimpulkan bahwa bila Negara memiliki kekuasaan penuh di bawah hukum
internasional to prescribe jurisdiction, namun pelaksanaan prescriptive
jurisdiction tersebut terbatas hanya di wilayah teritorialnya saja.
Penggunaan kekuatan polisi, eksekusi putusan pengadilan nasional, tidak dapat
dilakukan di wilayah Negara lain, kecuali diperjanjikan secara khusus oleh
pihak-pihak terkait. Contoh yang jarang terjadi adalah perjanjian antara UK dan
Belanda 1999 yang mengizinkan persidangan kasus Lockerbie diselenggarakan oleh
Pengadilan Scotlandia, menggunakan hukum Scotlandia, di wilayah Belanda.
Kesemuanya ini sebenarnya senada dengan yang dikemukakan oleh Muchtar
Kusumaatmadja bahwa kedaulatan Negara berakhir ketika dimlai wilayah Negara
lain. Kedaulatan Negara dibatasi oleh hukum internasional dna kepentingan
Negara lain.
Penerapan
yurisdiksi menjadi masalah hukum internasional bila dalam suatu kasus ditemukan
unsur asing. Misalkan saja kewarganegaraan pelaku dan/atau korban warga Negara
asing., atau tempat perbuatan atau peristiwa terjadi di luar negeri. Dalam
kasus yang kompleks bisa tersangkut banyak unsure asing, misalkan saja dalam
kasus pembunuhan yang dilakukan Oki, seorang mahasiswa WNI terhadap dua WNI
lainnya dan WN India di New York tahun 1995. Kasus ini menyangkut tiga Negara.
Semua Negara mengklaim memiliki yurisdiksi terhadap si pembunuh, tetapi hanya
ada satu Negara yang akan mengadilinya. Seorag pelaku kejahatan tentu tidak
dapat diadili untuk kedua kalinya dalam perkara dan tuntutan yang sama. Negara
tempat dimana pelaku ditemukan memiliki kesempatan terbesar untuk menerpkan
yurisdiksinya. Meskipun demikian, belum tentu Negara tersebut mau menerapkan yurisdiksinya.
Dalam kasus mahasiswa Indonesia di atas meskipun pelaku ditangkap di New York,
tetapi atas permintaan pemerintah Indonesia, AS mengektradisikan pelaku ke
Indonesia.
Dalam kaitannya
dengan klasifikasi beberapa penulis hukum internasional telah mencoba untuk
membuat beberapa kualifikasi. Berdasarkan objeknya (hal, masalah, peristiwa,
orang dan benda), yurisdiksi Negara dibedakan menjadi yurisdiksi personal,
yurisdiksi kebendaan, yurisdiksi criminal, yurisdiksi perdata, dan yurisdiksi
eksklusif. Adapun berkaitan dengan ruang atau tempat objek atau masalah yang
bukan semata-mata masalah domestic maka yurisdiksi Negara dapat dibedakan
menjai yurisdiksi territorial, quasi territorial, ekstrateritorial, universal
dan eksklusif.
2.2 Prinsip-Prinsip
Yurisdiksi dalam Hukum Internasional
Secara garis besar yurisdiksi pengadilan (judicial jurisdiction)
mencakup perdata dan pidana. Yurisdiksi perdata adalah kewenangan hokum
pengadilan suau Negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut keperdataan
baik yang sifatnya perdata biasa (nasional), maupun yang bersifat perdata
internasional di mana ada unsur-unsur asing dalam kasus tersebut baik
menyangkut para pihak, objek yang disengketakan maupun tempat perbuatan
dilakukan. Adapun yurisdiksi pidana adalah kewenangan hokum pengadilan suatu
Negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut kepidanaan baik yang murni
nasional maupun yang terdapat unsure asing di dalamnya.
Hokum
internasional public tidak banyak membuat aturan atau pembatasan berkaitan
dengan kasus-kasus perdata internasional. Hokum internasional public lebih
memfokuskan diri pada yurisdiksi pengadilan yang berkaitan dengan kasus-kasus
pidana internasional. Sepanjang menyangkut perkara pidana ada beberapa prinsip
yurisdiksi yang dikenal dalam hokum internasional yang dapat digunakan oleh
Negara untuk mengklaim dirinya memiliki judicial jurisdiction. Adapun
prinsip-prinsip tersebut ialah :
1.
Prinsip Yurisdiksi Teritorial
Menurut prinsip
ini setiap Negara memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan yang
dilakukan di dalam wilayah atau teritorialnya. Dibandingkan prinsi-prinsip
lain, prinsip territorial merupakan prinsip yang tertua, terpopuler dan
terpenting dalam pembahasan yurisdiksi dalam HI. Menurut Hakim Loed Macmillan,
suatu Negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang, benda dan
perkara-perkara perdata dan pidana dalam batas-batas territorialnya sebagai
pertanda Negara tersebut berdaulat.
Pengadilan Negara di mana suatu kejahatan dilakukan memiliki yurisdiksi terkuat
dengan pertimbangan:
a.
Negara
dimana kejahatan dilakukan adalah Negara yang ketertiban sosialnya paling
terganggu;
b.
Biasanya
pelaku ditemukan Negara dimana kejahatan
dilakukan;
c.
Akan
lebih mudah menemukan saksi dan bukti-bukti sehingga proses persidangan dapat
lebih efisien dan efektif;
d.
Sesroang
WNA yang dating ke wilayah suatu Negara dianggap menyerahkan diri pada system
HN Negara tersebut, sehingga ketika ia melakukan pelanggaran HN di Negara yang
ia datangi maka ia harus tunduk pada hokum stempat meskipun mungkin apa yang ia
lakukan sah (lawful) menurut system HN negaranya sendiri.
Dengan
demikian, ketika seorang WN Australia tertangkap basah menyimpan dan
memperjualbelikan ganja di sebuah hotel Denpasar, Bali Indonesia dapat
menerapkan yurisdiksi teritorialnya terhadap orang tersebut.
Meskipun
penting, kuat dan popular, penerapan yurisdiksi territorial tidaklah absolute.
Ada beberapa perkecualian yang diatur dalam HI dimana Negara tidak dapat
menerapkan yurisdiksi territorialnya, meskipun suatu peristiwa terjadi di
wilayahnya, beberapa perkecualian yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a.
Terhadap
pejabat diplomatic negara asing
b.
Terhadap
negara dan kepala negara asing
c.
Terhadap kapal public negara asing
d.
Terhadap
organisasi internasional
e.
Terhadap
pangkalan militer negara asing
2.
Prinsip Teritorial Subjektif
Berdasarkan
prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan
kejahatan yang dimulai dari wilayahnya, tetapi diakhiri atau menimbulkan
kerugian di Negara lain. Didekat perbatasan wilayah Indonesia-Malaysia, A yang
berada di wilayah Indonesia menembak B yang berada di seberang perbatasan
(wilayah Malaysia). Dalam kasus ini, Indonesia memiliki dasar untuk mengadili A
berdasarkan prinsip territorial subjektif karena A melakukan kejahatan yang
dimulai dari wilayah Indonesia meskipun kerugiannya timbul di wilayah Malaysia.
3.
Prinsip Teritorial Objektif
Berdasarkan
prinsip ini sutau Negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan
kejahatan yang menibulkan kerugian di wilayahnya meskipun perbuatan itu dimulai
dari Negara lain. Prinsip territorial objektif muncul pertama dalam kasus
Lotus, dimana kapal Prancis menabrak kapal Turki yang mengakibatkan kapal Turki
tenggelam. Turki mengklaim memiliki yurisdiksi terhadap kapal Prancis karena
menderita kerugian yang ditimbulkan oleh kapal (wilayah eksttrateriotrial)
Prancis. Dalam kasus A di atas, Malaysia juga dapat mengklaim memiliki
yurisdiksi untuk mengadili A karena telah menimbulkan kerugian yaitu
tertembaknya B di wilayah Malaysia, meskipun penembakan dilakukan A dari
wilayah Indonesia.
4.
Prinsip Nasionalitas Aktif
Berdasarkan
prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap warga yang melakukan kejahatan
di luar negeri. Indonesia memiliki yurisdiksi untuk mengadilil TKI yang
membunuh majikannya di Arab Saudi atas dasar prinsip ini. Dalam praktik sering
terjadi klaim yang tumpang tindih dari beberapa Negara karena pelaku kejahatan
memiliki kewarganegaraan ganda. Karenanya sangat penting bagi suatu Negara
untuk membuat aturan tegas siapa yang berhak mendapatkan kewarganegaraan di
negaranya.
5.
Prinsip Nasionalitas Pasif
Berdasarkan
prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap warganya yang menjadi korban
kejahatan yang dilakukan orang asing di luar negeri. Dengan prinsip ini maka
Indonesia akan memiliki yurisdiksi berdasarkan prinsip nasionalitas pasif
terhadap Philip (Warga Filipina) yang membunuh Soni (Warga Indonesia) di
Thailand. Dalam kasus US v Yunis 1989, Amerika mengadili Yunis, warga Libanon
yang dituduh terlibat pembajakan pesawat Yordania di Timur Tengah atas dasar
prinsip nasionalitas pasif. Beberapa warga AS yang ada dalam pesawat Yordania
itu menjadi korban perbuatan Yunis.
6.
Prinsip Universal
Berdasarkan
prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku kejahatan
internasional yang dilakukan dimanapun tanpa memperhatikan kebangsaan pelaku
maupun korban. Alas an munculnya prinsip ini adalah bahwa pelaku dianggap orang
yang sangat kejam, musuh seluruh umat manusia, jangan sampai ada tempat untuk
pelaku meloloskan diri dari hukuman, sehingga tuntutan yang dilakukan oleh
suatu Negara terhadap pelaku adalah atas nama seluruh masyarakat internasional.
Yurisdiksi
universal dalam hokum internasional bertujuan untuk memproses fenomena
pengampunan (impunity) bagi orang-orang tertentu. Pelaku serious
international crime tanpa di bawah hokum internasional yang menikmati impunity
bebas bepergian ke suatu tempat yang diinginkannya setelah ia melakukan serious
international crime tanpa bisa dimintai pertanggungjawaban bahkan hanya
untuk sekedar diinvestigasi.
Yurisdiksi
universal adalah yurisdiksi yang bersifat unik dengan beberapa cirri menonjol
sebagai berikut:
a.
Setiap
Negara berhak untuk melaksanakan yurisdiksi universal. Frase “setiap negara”
mengarah hanya padanegara yang merasa bertanggung jawab untuk turut serta
secara aktif menyelamatkan masyarakat
internasional dari bahaya yang ditimbulkan oleh serious crime, sehingga
merasa wajib untuk menghukum pelakunya. Rasa bertanggung jawab tersebut harus
dibuktikan dengan tidak adanya niat untuk melindungi pelaku dengan memberikan safe
heaven dalam wilayah negaranya.
b.
Setiap
Negara yang ingin melaksanakan yurisdiksi universal tidak perlu
mempertimbangkan siapa dan berkewarganegaraan apa pelaku juga korban dan dimana
serious crime dilakukan. Dengan kata lain dapat dikatakan tidak
diperlukan titik pertautan antara Negara yang akan melaksanakan yurisdiksinya
dengan pelaku, korban dan tempat dilakukannya kejahatan itu sendiri. Satu-satunya
pertimbangan yang diperlukan adalah apakah pelaku berada di wilayahnya atau
tidak? Tidak mungkin suatu Negara bisa melakansakan yurisdiksi universal bia
pelaku tidak berada di wilayahnya. Akan merupakan pelanggaran hokum internasional
bila Negara memaksa menangkap seseorang yang berada di wilayah Negara lain.
c.
Setiap
Negara hanya dapat melaksanakan yurisdiksi universalnya terhadap pelaku serious
crime atau yang lazim disebut internastional crime.
Berdasarkan
karakteristik sebagaimana dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa pada
hakikatnya yurisdiksi yang berpotensi untuk mengisi kekosongan hokum dalam
pelaksanaan yurisdiksi terhadap tindak-tindak pidana internasional. Hakikat
yurisdiksi universal berbeda dengan yurisdiksi yang lain karena tidak
memerlukan titik pertautan antara Negara yang melaksanakan yurisdiksinya dengan
pelaku, korban, dan tindak pidana itu sendiri. Kekosongan hokum dapat diatasi
dengan diberikannya wewenang oleh hokum internasional kepada setiap Negara untuk
melaksanakan yurisdiksi universal.
Sebagaimana
dikemukakan sebelumnya, selama ini yurisdiksi universal hanya dapat diterapkan
dalam kasus-kasus international crime menurut hakim Supreme Court
Amerika Serikat dalam Hostage Case adalah :
“an
international crime is such an act universally recognized as criminal, which is
considered as agrave matter of international concern and for some valid reason
cannot be left within the state that would have control over it under normal
circumatances”
Dengan
demikian, untuk menjadi international crime harus memenuhi beberapa syarat
sebagai berikut:
a.
Perbuatan
itu diakui universal sebagai tindak pidana, sudah dirumuskan sebagai tindak
pidana dalam semua system hokum pidana di semua Negara. Semua Negara mengutuk (condemn)
perbuatan itu dan menentukan hukumannya yang layak.
b.
Tindak
pidana itu harus memenuhi criteria tertentu sebagai international crime, yaitu
bahwa pelakunya merupakan musuh umat manusia dan tindakannya bertentangan
dengan kepentingan umat manusia sehingga penegakan hokum internasionalnya harus
dilakukan, dengan melalui hokum kebiasaan internasional maupun perjanjian
internasional, dengan menghukum pelakunya.
c.
Arena
sifatnya yang sangat membahayakan masyarakat internasional maka sangat
beralasan untuk tidak hanya memberikan yurisdiksi pada suatu Negara saja yang
jika dalam keadaan normal memang berhak untuk melaksanakannya.
Hukum
internasional klasik menyebutkan kejahatan perang (war crime) dan piracy
sebagai kejahatan internasional yang kepadanya dapat diterapkan yurisdiksi
universal. Pasal 404 Restatement (Third) of the Foreign Relations Law
of United States menyebutkan yurisdiksi universal diberlakukan terhadap piracy,
perdagangan budak, attack or hijacking of aircraft, genocide, war crimes dan
terrorism. ICTY memasukkan pelanggaran berat Konvensi Jenewa 1949,
pelanggaran hokum atau kebiasaan perang, genocide, dan kejahatan kemanusiaan
sebagai kejahatan internasional yang memerlukan yurisdiksi universal.
Yurisdiksi ICTR mencakup genocide, kejahatan kemanusiaan, pelanggaran pasal 3
bersama Konvensi Geneva dan Protokol Tambahan II 1977. Adapun Statuta ICC
menyebutkan genocide, war crime, kejahatan kemanusiaan dan
kejahatan agresi sebagai yurisdiksinya.
7.
Prinsip Perlindungan
Berdasarka prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi
trehadap orang asing yang melakukan yurisdiksi terhadap orang asing yang
melakukan kejahatan yang sangat serius yang mengancam kepentingan vital Negara,
keamanan, integritas dan kedaulatan, serta kepentingan vital ekonomi Negara.
Beberapa contoh kejahatan yang masuk yurisdiksi perlindungan antara lain spying,
plots to overthrow the government, forging currency, immigration and economic
violation.
Meskipun
dipraktikan di beberapa HN Negara seperti halnya Prancis, Inggris, dan
lain-lain termasuk Indonesia, namun prinsip ini terkadang dipandang sangat berbahaya karena dapat
diinterpretasikan dengan sangat luas oleh suatu Negara untuk mengadili
seseorang atas dasar prinsip perlindungan bagi negaranya. Beberapa Negara barat
menggunakan prinsip ini dalam kasus perdagangan obat-obat terlarang juga
terorisme. Adapun Indonesia menyatakan dalam Kitab Undang-undang Hukum
PIdananya bahwa Indonesia memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang ada di
luar negeri yang melakukan tindakan mengancam dan kepentingan vital ekonomi
Indonesia.
2.3 Penerapan
Yurisdiksi Ektrateritorial
Hokum internasional memang tidak mengatur secara detail
pembatasan-pembatasan yurisdiksi suatu Negara, kecuali apa yang telah dikenal
dalam prinsip-prinsip yurisdiksi hokum internasional, misalnya bahwa suatu
Negara tidak akan menjalankan yurisdiksinya terhadap orang, benda atau
perbuatan yang tidak ada sangkut paut dengan negaranya. Namun demikian,
seandainya ada suatu Negara (Negara A)
menyatakan bahwa penerapan yurisdiksi dari Negara B melanggar hokum
internasional, maka Negara A harus membuktikan dimana letak pelanggaran yang
telah dilakukan Negara B.
Dalam
kaitannya dengan hal ini pertanyaan yang sering muncul adalah apakah suatu
Negara (Negara C) bisa menerapkan yurisdiksi extraterritorial-nya
terhadap subjek hokum asing (Negara D) yang melakukan perbuatan di luar wilayah
Negara C. Yurisdiksi ekstrateritorial digunakan beberapa Negara berlandaskan
kepentingan nasional, khususnya kepentingan nasional, khususnya kepentingan
bisnis mereka. Sebagai contoh dapat dikemukakan jika dua perusahaan asing
membuat perjanjiandi luar negeri untuk mengoordinasikan kebijakan harga
barang-barang yang mereka pasarkan di wilayah Negara X dapatkah dikatakan bahwa perjanjian ii melanggar hokum nasional Negara
X atas dasar merugikan kepentingan Negara X.
Undang-undang
anti monopoli Amerika Serikat, Sherman Act, yang pertama kali dibuat tahun 1890
adalah contoh riil undang-undang nasional yang menerapkan yurisdiksi
ekstrateritorial. UU ini menetapkan bahwa semua perjanjian, persekongkolan, dan
konspirasi dalam pembatasan usaha bidang perdagangan, baik di dalam maupun luar
negeri, yang mencoba memonopoli adalah bertentangan dengan hokum Amerika
Serikat (AS).
Yurisdiksi
ekstrateritorial mengundang controversial khususnya dari sudut pandang
yurisdiksi territorial karena tidak ada direct and immediate link between
the initiation and complection of the act sebagaimana ditemukan dalam kasus
Lotus yang menerapkan yursdiksi tertorial objektif.
Contoh
kasus penggunaan yurisdiksi ekstrateritorial antara lain dalam kasus American
Banana Co. Dalam kasus ini penggugat adalah warga Negara AS, pemilik perkebunan
pisang di Costarica, sedangkan tregugat adalah pemilik United Fruit Co.
Tuntutan yang diajukan adalah bahwa tergugat telah melanggar Sherman Act dengan
cara membujuk pemerintah Costaria untuk merampas tanah milik perkebunan Banana
Co. Mahkamah Agung AS memutuskan bahwa Sherman Act tidak dapat diterapkan
terhadap United Fruit Co atas kegiatannya yang dilakukan di luar negeri bila
kegiatan tersebut tidak melanggar hokum Costarica. Pelanggaran terhadap hokum
As di luar negeri tidak dapat dijadikan dasar tuntutan di pengadilan AS apabila
tindakan tersebut tidka bertentangan dengan hokum nasionall dimana perbuatan
itudilakukan.
Dalam
kasus Alcoa 1945, Pemerintah AS telah menggugat perusahaan Alcoa dan aluminium
Ltd berdasarkan Sherman Act dimana tergugat dituduh telah bersekongkol dengan
berbagai perusahaan asing (Swiss, Jerman, Inggris) untuk menghambat perdagangan
domestic maupun luar negeri AS dalam hal produksi dan penjualan aluminium.
Perkara ini sudah menjadikan preseden yurisdiksi ekstrateritorial yang sangat
popular. Pengadilan banding AS dalam putusannya menetapkan bahwa kongres tidak
dapat menerapkan Sherman Act apabila :
1.
Tidak
ada maksud untuk menimbulkan akibat terhadap perdagangan AS;
2.
Tidka
mempunyai akibat terhadap perdagangan AS;
Apabila kedua
syarat itu terpenuhi maka Sherman Act dapat diterapkan sekalipun kegiatannya
dilakukan di luar wilayah AS.
Masih terkait
dengan penerapan yurisdiksi ekstrateritorial, AS juga menerapkan effect
doctrine melalui US anti-trust legislation. Effect doctrine
diterapkan pertama kali dalam kasus US v Aluminium Co of America tahun
1945. Dalam kasus ini dipertanyakan apakah perusahaan Canada dapat dimintai
pertanggungjawaban di bawah US anti trust legislation atas kebajikannya
menetapkan harga barang yang mereka pasarkan di AS. Pengadilan AS menyatakan dirinya memiliki judicial
jurisdiction terhadap perusahaan Canada tersebut atas dasar effect
doctrine, bahwa tindakan Perusahaan Canada memberikan efek, merusak
persaingan di AS.
Selain AS,
penerapan yurisdiksi ekstrateritorial juga diterapkan oleh pengadilan Eropa
(ECJ) berkaitan dengan penerapan EC Competition Law dalam kasus Wood
Pulp. Dalam kasus ini muncul kontroversi seputar dua hal menyangkut yurisdiksi
ECJ dan substansi tuntutan. Dalam kasus ini pengadilan pengadilan menetapkan
bahwa lebih dari 42 supplier of wood pulp melanggar European Community
Competition Law. Perusahaan-perusahaan tersebut 11 perusahaan AS, 6 Canada,
11 Swedia, 11 Finlandia, 1 Norwegia, 1 Spanyol, dan 1 Portugal.
Perusahaan-perusahaan Non EC ini menjual barang mereka ke Eropa lewat berbagai
cara seperti agen, cabang, dan anak perusahaan yang berada di Eropa.
Pelaksanaan
yurisdiksi ekstrateritorial sering menimbulkan banyak masalah. Investasi cabang
perusahaan yang ada di luar negeri misalnya, akan memerlukan kerja sama dari
otoritas yang berwenang demikian halnya berkaitan dengan enforcement
jurisdiction putusan pengadilan. Negara lain tidak memiliki kewajiban untuk
membantu atau bekerja sama dengan otoritas asing berkaitan dengan pengakuan
pelaksanaan putusan asing tersebut.
2.4
Bentuk Kerja Sama Antarnegara Dalam Penerapan Yurisdiksi
Kedaulatan
Negara hanya dapat dilakasanakan di wilayah atau teritorialnya dan akan
berakhir ketika sudah dimulai wilayah atau territorial Negara lain. Meskipun
suatu Negara memiliki judicial jurisdiction atau kewenangan untuk
mengadili seseorang berdasarkan prinsip-prinsip yurisdiksi dalam hokum
internasional, namun tidak begitu saja Negara dapat melaksanakannya (enforcement
jurisdiction) ketika orang tersebuut sudah melarikan diri ke Negara lain.
Demikian pula berlaku terhadap seorang terpidana yang berhasil kabur dari
tahanan, Negara tidak bisa langsung menangkapnya lagi ketika si terpidana
berhasil kabur ke luar negeri. Untuk itulah
dalam tata kra pergaulan internasional dibutuhkan permohonan ekstradisi dari Requesting
State kepada Requested State.
Dengan demikian, keterbatasan kedaulatan territorial bisa dijembatani melalui kerja sama dengan
Negara-negara lainnya untuk proses penegakan hukumnya. Keberhasilan kerja sama
penegakan hokum tersebut pada umumnya tidak akan menjadi kenyataan jika
tidakada perjanjian bilateral maupun multilateral dalam penyerahan pelaku
kejahatan atau dalam kerja sama penyidikan, penuntutan, dan peradilan.
Prasyarat perjanjian tersebut tidak bersifat mutlak karena tanpa ada perjanjian
itupun kerja sama penegakan hokum dapat dilaksnakan berlandaskan asas
resiprositas (timbal balik).
Kerja sama
penerapan yurisdiksi atau penegakan hokum yang tertua adalah ekstradisi
kemudian diikuti kerja sama penegakan hokum lainnya seperti, dengan “mutual
assistance” (MLAT’s); “transfer of sentenced person” (TSP); “transfer
of criminal proceedings” (TCP), dan “joint investigation” serta “handing
over”
Pemerintah
Indonesia telah memiliki “undang-undang payung” (umbrella act) untuk
ekstradisi dengan undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, dan
untuk kerja sama penyidikan dan penuntutan, termasuk pembekuan dan penyitaan
asset, dengan Undang-undang No 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam
Masalah Pidana (mutual assistance in criminal matters). Perbedaan kedua
bentuk perjanjian kerja sama penegakan hokum tersebut adalah, bahwa perjanjian ekstradisi untuk tujuan penyerahan
orang (pelaku kejahatan), sedangkan perjanjian MLTA’s untuk tujuan perbantuan
dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang peradilan pidana
termasuk pengusutan, penyitaan dan pengembalian asset hasil kejahatan.
Permintaan penyerahan pelaku kejahatan (ekstradisi) tidak serta merta merupakan
pengembalian asset hasil kejahatan yang dibawa pelaku kejahatan yang
bersangkutan. Kedua bentuk perjanjian tersebut harus saling melengkapi dan
bukan dilihat secara terpisah. Hal ini berarti permintaan ekstradisi wajib
dilengkapi dengan permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana terutama
pengusutan dan pengembalian aset kejahatan dari pelaku kejahatan yang
bersangkutan.
Ekstradisi
menurut pasal 1 UU 1/1979 tentang Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu
Negara kepada Negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau
dipidana karena melakukan suatu tindak pidana di luar wilayah yang menyerahkan
dan di dalam yurisdiksi wilayah Negara yang meminta penyerahan tersebut.
Pengertian ini pada dasarnya sama dengan pengertian yang terdapat dalam Black
Law Dictionary yaitu the surrender by one state or country to anotherof
an individual accused or convicted of an offense outside its own territory and
within the territorial jurisdiction of the other, which, being competent to try
and punish him, demand the surrender. Senada dengan pengertian tersebut I
Wayan Pathiana menegaskan bahwa Ekstradisi adalah penyerahan secara formal
berdasarkan perjanjian, prinsip resirositas/ hubungan baik antarnegara. Atas
seseorang (tersangka, terrtuduh, terdakwa, terpidana) oleh Negara. Tempat orang
tersebut melarikan diri / bersembunyi (Requested State) kepada Negara
yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili hukumnya atas permintaan dari Negara
tersebut (Requesting State) dengan tujuan untuk diadili atau
dilaksanakan hukumnya. Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
ekstradisi adalah penyerahan secara formal seseorang baik dalam
statustersangka, terdakwa, atau trepidana dari Negara diminta ke Negara yang
meminta untuk diadili atau dilaksanakan hukumannya. Ekstradisi dapat dilakukan
melalui perjanjian maupun atas dasar hubungan baik kedua Negara.
Perjanjian
ekstradisi sangat dibutuhkan saat ini
seiring dengan meningkatnya kualitas maupun kuantitas kejahatan khususnya
kejahatan transnasional dan terorisme. Keberadaan istrumen hokum internasional
ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan jangkauan da kemampuan penegakan hokum
pidana nasional secara umum.
Perjanjian
ekstradisi tumbuh dari praktik Negara-negara yang kemudian menjadi hokum
kebiasaan internasional. Pada umunya perjanjian-perjanjian ekstradisi akan
memuat sebagai prinsip-prinsip berikut :
1.
Prinsip
kejahatan ganda
2.
Prinsip
kekhususan / spesialitas
3.
Prinsip
tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik
4.
Prinsip
tidak menyerahkan WN sendiri
5.
Prinsip
Ne bis in idem
6.
Prinsip
kadaluwarsa
Prinsip-prinsip
di atas sudah terwadahi dalam instrument hokum nasional yaitu UU No 1/1979
tentang ekstradisi. Di samping hokum nasional yang bersumberkan pada hokum
intetrnasional, saat ini PBB juga sudah mengeluarkan instrument khusus yang
menjadi panduan dalam pembuatan perjanjian ekstradisi yaitu Model Treaty on
Extradition. Model ini bisa diterapkan baik dalam perjanjian bilateral maupun
internasional.
BAB
3
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari paparan di
atas dapat disimpulkan bahwa bila Negara memiliki kekuasaan penuh di bawah
hukum internasional to prescribe jurisdiction, namun pelaksanaan prescriptive
jurisdiction tersebut terbatas hanya di wilayah teritorialnya saja.
Penggunaan kekuatan polisi, eksekusi putusan pengadilan nasional, tidak dapat
dilakukan di wilayah Negara lain, kecuali diperjanjikan secara khusus oleh
pihak-pihak terkait. Contoh yang jarang terjadi adalah perjanjian antara UK dan
Belanda 1999 yang mengizinkan persidangan kasus Lockerbie diselenggarakan oleh
Pengadilan Scotlandia, menggunakan hukum Scotlandia, di wilayah Belanda.
Kesemuanya ini sebenarnya senada dengan yang dikemukakan oleh Muchtar
Kusumaatmadja bahwa kedaulatan Negara berakhir ketika dimlai wilayah Negara lain.
Kedaulatan Negara dibatasi oleh hukum internasional dan kepentingan Negara
lain.
Dalam kaitannya
dengan klasifikasi beberapa penulis hukum internasional telah mencoba untuk
membuat beberapa kualifikasi. Berdasarkan objeknya (hal, masalah, peristiwa, orang
dan benda), yurisdiksi Negara dibedakan menjadi yurisdiksi personal, yurisdiksi
kebendaan, yurisdiksi criminal, yurisdiksi perdata, dan yurisdiksi eksklusif.
Adapun berkaitan dengan ruang atau tempat objek atau masalah yang bukan
semata-mata masalah domestic maka yurisdiksi Negara dapat dibedakan menjai
yurisdiksi territorial, quasi territorial, ekstrateritorial, universal dan
eksklusif.
Secara garis
besar yurisdiksi pengadilan (judicial jurisdiction) mencakup perdata dan
pidana. Hokum internasional public lebih memfokuskan diri pada yurisdiksi
pengadilan yang berkaitan dengan kasus-kasus pidana internasional. Sepanjang
menyangkut perkara pidana ada beberapa prinsip yurisdiksi yang dikenal dalam
hokum internasional yang dapat digunakan oleh Negara untuk mengklaim dirinya
memiliki judicial jurisdiction. Adapun prinsip-prinsip tersebut ialah :
1.
Prinsip
yurisdiksi territorial
2.
Prinsip
territorial subjektif
3.
Prinsip
territorial objektif
4.
Prinsip
nasionalitas aktif
5.
Prinsip
nasionalitas pasif
6.
Prinsip
universal
3.2 Saran
Dari uraian di atas, secara singkat dapat
dikemukakan disini bahwa masih ada rasa was-was atau perasaan belum yakin untuk
mengandalkan secara penuh yurisdiksi Negara dalam Hukum Intrtenasional. Perbaikan
penegakan hukum, SDM, perubahan kultur harus terus-menerus dibenahi. Selagi
pembenahan berjalan, tampaknya dewasa ini upaya-upaya yang efektif untuk menerapkan
yurisdiksi Negara dalam hokum internasional adalah agar para pihak mencoba dengan
sungguh-sungguh supaya hal tersebut dapat diterapkan dengan baik dan sesuai
aturan hokum yang berlaku.
[1] Sefriani, Hukum Internasional Suatu
Pengantar, hal 232.
[2]
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, hal 232-233.
[3]
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, hal 233-234.
KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS, BERKAT BANTUAN BPK PRIM HARYADI SH. MH BELIAU SELAKU KETUA PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A)
BalasHapusAssalamu'alaikum sebelum'nya saya ingin publikasi kisah cerita sukses saya bebas dari jeratan hukum, sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah sala satuh NAPI yang terdakwah dengan pasal 338 KUHP dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A , dan keluarga saya itu pernah cerita kepada ketua panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 338 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk PRIM HARYADI SH.MH Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau untuk saya jelas'kan masalah yang saya hadapi, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk prim haryadi SH. MH beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk DR Prim Haryadi SH.MH 📞 0853-2174-0123. Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk prim haryadi semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....